A. Hendra Purnomo, Ketua FLP Cabang Pamekasan
PERNIKAHAN dini masih menjadi fenomena yang cukup umum di beberapa daerah di Indonesia, dan Madura adalah salah satu wilayah di mana praktik ini masih sering dijumpai. Menurut Badan Pusat Statistik pada 15 Mei 2024 lalu, persentase angka perkawinan di usia kurang dari 17 tahun mencapai 20,65 persen.
Sebagai seorang pengamat sosial, saya merasa penting untuk membahas topik ini secara mendalam, mengingat dampak signifikan yang ditimbulkannya terhadap kehidupan individu dan masyarakat secara luas, terutama bagi perempuan.
Akar Masalah dan Keterlibatan Budaya Patriarki
Akar masalah pernikahan dini di Madura tidak bisa dilepaskan dari faktor budaya dan ekonomi yang telah mengakar kuat. Secara tradisi, banyak keluarga di Madura yang masih memegang kepercayaan bahwa menikahkan anak sedini mungkin adalah bentuk tanggung jawab orang tua.
Ada kekhawatiran yang berkembang di masyarakat bahwa jika seorang anak, terutama perempuan, tidak segera dinikahkan, mereka akan dianggap sebagai “perawan tua”. Pandangan semacam ini, meskipun sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, masih memiliki pengaruh yang kuat dalam pengambilan keputusan keluarga.
Selain faktor budaya, kondisi ekonomi juga memegang peranan penting dalam maraknya pernikahan dini. Banyak keluarga yang hidup dalam kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan memandang pernikahan anak mereka sebagai solusi untuk mengurangi beban keuangan keluarga.
Mereka beranggapan bahwa dengan menikah, tanggung jawab finansial atas anak tersebut akan beralih kepada pasangannya. Namun, pandangan ini seringkali tidak memperhitungkan kesiapan mental dan finansial dari pasangan muda tersebut.
Saya perlu menekankan bahwa dampak dari pernikahan dini tidak bisa dianggap remeh. Dari segi kesehatan, perempuan yang menikah dan hamil di usia muda menghadapi risiko yang lebih tinggi selama kehamilan dan persalinan.
Tubuh mereka yang belum sepenuhnya siap untuk mengandung dan melahirkan dapat mengalami berbagai komplikasi yang membahayakan nyawa ibu dan bayi. Selain itu, pernikahan dini sering kali mengakibatkan putusnya pendidikan.
Banyak anak yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena harus mengemban tanggung jawab sebagai suami atau istri, sehingga menghambat perkembangan pribadi dan potensi mereka.
Aspek lain yang tidak kalah penting adalah dampak psikologis dan sosial dari pernikahan dini. Pasangan muda yang belum matang secara emosional seringkali menghadapi kesulitan dalam mengelola konflik rumah tangga.
Hal ini dapat berujung pada tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga atau perceraian dini. Lebih jauh lagi, tanpa pendidikan dan keterampilan yang memadai, pasangan muda ini rentan terjebak dalam siklus kemiskinan yang sulit diputus, sehingga berdampak pula pada generasi berikutnya.
Perlunya Kesadaran Bersama
Dalam upaya mengatasi masalah ini, saya meyakini bahwa pendekatan yang sensitif gender sangat diperlukan. Edukasi yang menekankan kesetaraan gender perlu diberikan, baik di sekolah maupun di masyarakat luas.
Program-program pemberdayaan perempuan, baik secara ekonomi maupun sosial, dapat membantu mereka memiliki pilihan hidup yang lebih luas. Namun, saya juga ingin menekankan bahwa edukasi tidak boleh hanya ditujukan pada perempuan. Laki-laki juga perlu dilibatkan untuk memahami pentingnya kesetaraan dan dampak negatif pernikahan dini.
Peran pemerintah dalam mengatasi masalah ini juga tidak bisa diabaikan. Diperlukan kebijakan yang tegas dan berpihak pada perlindungan anak, serta implementasi yang konsisten. Peningkatan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi juga merupakan langkah penting yang perlu diambil pemerintah.
Sebagai penutup, saya ingin menggarisbawahi bahwa mengatasi fenomena pernikahan dini di Madura membutuhkan upaya bersama dari berbagai pihak. Tokoh agama dan adat, lembaga pendidikan, media, dan masyarakat luas semua memiliki peran penting dalam mengubah paradigma yang ada.
Dengan meningkatkan kesadaran akan risiko dan dampak pernikahan dini, serta bekerja sama untuk menciptakan perubahan, saya yakin kita dapat membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi muda Madura – masa depan di mana setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki kesempatan untuk tumbuh, belajar, dan berkembang sepenuhnya sebelum memutuskan untuk menikah. (*)