Oleh: Fauzi As, Pengamat Kebijakan Publik.
——
NGIN segar program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) seharusnya menyapa rakyat miskin. Tapi di Sumenep, angin itu berubah jadi puting beliung—menumbangkan harapan rakyat, membangun rumah-rumah megah para pemain anggaran.
BSPS yang semestinya menjadi penyambung asa rakyat tak mampu untuk punya rumah layak, kini justru menjelma jadi ajang renovasi rumah para “pemilik jabatan,”.
Program yang niatnya mulia ini, entah kenapa malah mampir ke kantong dan tanah orang-orang yang sudah tidak perlu distimulasi lagi. Ya, kecuali stimulasi agar berhenti serakah.
Lucunya, ketika masyarakat mencium aroma tak sedap dari proyek ini, Bupati Sumenep malah memberikan jawaban epik: “Itu bukan urusan saya,” Sebuah statemen yang layak masuk buku sejarah sebagai kalimat paling jujur dari pejabat yang lupa dirinya pejabat.
Padahal, sang bupati adalah seorang doktor hukum. Ilmunya tinggi, bahkan bisa menembus langit birokrasi. Sayangnya, ilmunya tidak sempat dibuka ketika rakyat butuh keadilan.
Mungkin karena sibuk. Mungkin juga karena lupa kalau gaji, rumah dinas, hingga kopi paginya dibiayai oleh rakyat yang dia bilang “bukan urusannya”.
Tak kalah menghibur, Ketua DPRD Sumenep Haji Zainal Arifin ikut tampil di panggung satire ini. Dengan penuh kebijaksanaan bercampur kebingungan, beliau menyuruh rakyat membawa bukti.
“Semua yang menyoroti bisa menyodorkan bukti,” Ungkapnya dengan nada kikuk. Mungkin dia lupa aturan kalau fungsi DPRD itu bukan menunggu rakyat kerja, justru yang wajib mengawasi dan mencari tahu.
Tapi ya wajar saja, mata beliau mungkin silau oleh bangunan-bangunan baru yang katanya untuk rakyat, tapi parkir motornya saja rakyat tidak boleh mendekat.
Yang bikin tambah kocak, mereka berdua dari partai yang sama—PDIP. Tapi di depan publik, kelihatannya seperti dua kubu sinetron politik yang saling lempar skrip. Sementara rakyat? Cuma penonton dengan camilan kacang tinggal kulitnya.
Sumenep, kini bukan hanya kota keris, tapi juga kota kritik. Karena di balik tumpukan bata dan cat rumah BSPS, ada aroma skenario yang lebih cocok difilmkan. Judulnya? “Rumah Ini Milik Rakyat, Tapi Bapaknya Pejabat,”.
BSPS berdiri gagah. Bukan di dusun miskin, tapi di halaman belakang para pengurus anggaran. Ironis? Tentu. Tapi lebih ironis lagi ketika jaksa mulai demam karena masuk angin di musim hujan proyek.
Rakyat kecil hanya bisa menatap nanar, berharap jaksa tak hanya menggali, tapi juga menarik ke atas apa pun yang busuk dari kedalaman itu. Sayangnya, hingga kini yang naik ke permukaan baru statemen klise: “Masih proses, kami dalami.”
Hebatnya lagi, para pejabat daerah dan wakil rakyat tetap tenang seperti sedang menonton sinetron. Mungkin karena mereka tahu: akhir ceritanya sudah bisa ditebak. Rakyat pulang kecewa, BSPS hanya prasasti, dan jaksa dapat vitamin masuk angin.
Kalau hukum sudah jadi teka-teki silang dan pejabat bicara seperti stand-up comedy, mungkin saatnya rakyat mengajukan BSPS bukan untuk rumah, tapi untuk membangun ulang akal sehat dan budi pekerti.
Terakhir pesan untuk Bupati, Kapan kita bisa ngopi? bahas Sumenep dari kiri, kelompom yang dicap oposisi. Ya bisa di kemas diskusi, bonus netizen yang hobi membuli. (*)
—-
DISCLAIMER: Tulisan ini memuat pendapat pribadi penulis, segala isi tulisan bukan tanggung jawab redaksi.