Toleransi dan Penyimpangan: Perspektif Sosiokultural dalam Konteks Pengaruh Media Digital

- Jurnalis

Rabu, 28 Mei 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Qotrunnada Laila Mufidah, Pegiat Literasi dan Aktivis Perempuan.

——-

DALAM era digital yang sangat maju dan perkembangan media sosial yang masif, masyarakat menghadapi tantangan kompleks dalam memahami konsep toleransi. Kebebasan berekspresi yang meluas di ranah digital memberi ruang bagi berbagai nilai dan identitas sosial untuk tampil.

Termasuk, yang selama ini dianggap menyimpang dari norma mayoritas, seperti penganut LGBTQ++ dan sejenisnya. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan pergeseran makna toleransi, tetapi juga memunculkan dilema sosiokultural yang mempengaruhi kohesi sosial dan keberlangsungan nilai-nilai tradisional.

IMG-20250606-WA0005
IMG-20250606-WA0004
IMG-20250606-WA0003
IMG-20250606-WA0006
previous arrow
next arrow

Menurut data Kementerian Agama RI tahun 2022, sebanyak 87 persen masyarakat Indonesia masih memegang teguh nilai moral tradisional yang menekankan pentingnya norma keluarga dan sosial yang sehat.

Namun, survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2022 juga mengungkapkan bahwa eksposur masyarakat terhadap konten-konten LGBTQ+ meningkat signifikan melalui platform populer seperti, TikTok dan Instagram, khususnya di kalangan anak muda.

Baca juga :  Raperda Pesantren Pamekasan: Langkah Strategis Penguatan Pendidikan Islam

Hal ini menandakan adanya tekanan sosial dan kultural yang menggeser persepsi publik, di mana figur influencer digital menjadi aktor sentral yang membentuk opini dan perilaku sosial.

Dari perspektif sosiokultural, masyarakat adalah sistem nilai yang kompleks dan dinamis yang berfungsi menjaga keteraturan sosial melalui norma dan aturan tidak tertulis.

Dalam kerangka ini, toleransi bukan berarti penerimaan tanpa batas terhadap semua perbedaan perilaku, terutama jika perilaku tersebut menyimpang dari norma sosial yang telah terbentuk secara historis dan berfungsi menjaga stabilitas komunitas.

Ketika influencer digital yang memiliki daya tarik dan pengaruh besar mempromosikan gaya hidup seperti LGBTQ++, perilaku seks bebas, dan ekspresi gender nonbiner sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia, terjadi konflik nilai yang menimbulkan disorientasi sosial dan risiko disintegrasi norma kolektif.

Lebih jauh, narasi yang menyamakan toleransi dengan pembiaran terhadap penyimpangan ini berpotensi melemahkan struktur sosial yang berbasis pada nilai luhur bangsa, Pancasila, dan aturan hukum.

Baca juga :  Khofifah Gubernur Bukan Emak-emak Pasar Sayur

Dalam konteks agama-agama mayoritas di Indonesia, homoseksualitas dan bentuk ekspresi gender yang menyimpang dikategorikan sebagai pelanggaran moral yang harus dikendalikan demi kesejahteraan sosial.

Fenomena ini juga berkaitan dengan apa yang disebut ketimpangan epistemik dalam sosiologi pengetahuan, dimana masyarakat lebih mempercayai figur populer yang mampu menyajikan narasi mudah dicerna dan emosional daripada argumentasi berbasis data dan keilmuan formal.

Akibatnya, penyimpangan perilaku dipandang sebagai sesuatu yang lumrah dan mendapat legitimasi sosial melalui mekanisme viralitas dan algoritma media sosial. Terjadi proses “banalisasi penyimpangan” yang berpotensi mengikis nilai-nilai dasar dan merusak tatanan sosial jangka panjang.

Namun demikian, penting dipahami bahwa membedakan antara penghormatan terhadap individu sebagai subjek hak dan pembenaran terhadap perilaku yang menyimpang adalah hal esensial dalam menjaga harmoni sosial. Konsep non-diskriminasi harus dijalankan tanpa mengaburkan garis batas normatif dan etis.

Baca juga :  Di Balik Lensa Media Sosial: Menyoroti Objektifikasi Perempuan dan Dampaknya

Masyarakat perlu dilengkapi dengan literasi digital dan sosial yang kuat agar dapat memilah dan menolak konten yang berpotensi merusak nilai dan moral bersama.

Peran negara, institusi pendidikan, dan tokoh masyarakat menjadi sangat vital dalam memperkuat narasi positif berbasis ilmu pengetahuan dan ajaran agama, sekaligus memberikan pemahaman kritis kepada publik tentang tanggung jawab sosial influencer.

Popularitas bukan lisensi untuk menyebarkan pengaruh tanpa kendali etis. Figur publik harus diingatkan bahwa mereka memegang peranan penting dalam pembentukan karakter sosial, terutama di kalangan generasi muda.

Akhirnya, toleransi sejati adalah sikap menghargai perbedaan yang bermartabat dan konstruktif, bukan pembiaran terhadap perilaku menyimpang yang mengancam integritas norma sosial dan moral bangsa.

Di tengah dunia yang semakin kompleks dan plural, keberanian untuk mempertahankan nilai dan menyuarakan kebenaran menjadi bentuk tertinggi dari tanggung jawab sosial dan kecintaan terhadap tanah air. (*)

Berita Terkait

Ketika Dunia Tengah Porak-Poranda, Kita Di Mana?
Drama Migas di Ujung Madura
Soekarno Inspirator Kelestarian Lingkungan
Ayam Jantan dan Safari Rakyat di Ujung Negeri
30 Kilogram Narkoba Terapung: Madura Diincar, Moral Diterkam
TNI Serbu Bea Cukai
Dua Ton Sabu, Rakyat Ribut Soal Jaksa
PT. Sumekar: Karam, Tak Juga Tenggelam

Berita Terkait

Senin, 23 Juni 2025 - 10:19 WIB

Ketika Dunia Tengah Porak-Poranda, Kita Di Mana?

Rabu, 18 Juni 2025 - 05:39 WIB

Drama Migas di Ujung Madura

Senin, 16 Juni 2025 - 09:09 WIB

Soekarno Inspirator Kelestarian Lingkungan

Rabu, 11 Juni 2025 - 12:35 WIB

Ayam Jantan dan Safari Rakyat di Ujung Negeri

Jumat, 30 Mei 2025 - 10:44 WIB

30 Kilogram Narkoba Terapung: Madura Diincar, Moral Diterkam

Berita Terbaru

Kapolres Sampang AKBP Hartono saat memimpin langsung upacara serah terima jabatan (sertijab) itu di Lapangan Wira Manunggal Wicaksana, Mapolres Sampang.

Sampang

Wakapolres dan Kasat Intelkam Sampang Resmi Diganti

Selasa, 24 Jun 2025 - 11:54 WIB