Selamat Hari Pembantaian Pers Nasional

- Jurnalis

Minggu, 4 Mei 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi hari pembantaian pers nasional. (gambar ini hasil buatan AI)

Ilustrasi hari pembantaian pers nasional. (gambar ini hasil buatan AI)

Oleh: Fauzi As, Pengamat Kebijakan Publik.

——-

ETIAP tahun, tepatnya tanggal 9 Februari diperingati Hari Pers Nasional (HPN), lengkap dengan upacara, baliho, dan sambutan para pejabat. Tak hanya itu, tanggal 3 Mei juga diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia. Tapi tahun ini, saya tidak bisa merayakan. Hati saya ikut bersedih mendengar curhatan PHK.

Tahun ini, mari kita beri nama yang lebih jujur: Hari Pembantaian Pers Nasional. Sebab peringatan itu kini tak lagi tentang merayakan kemerdekaan pers, tapi mengenang profesi yang sedang sekarat, disembelih perlahan oleh efisiensi, algoritma, AI, Tiktoker dan Buzzer.

Liputan investigatif nyaris tak bisa bersaing dengan konten 60 detik Dullo Sampang yang hanya mengupas sarung lebaran.

Padahal, di berbagai daerah seperti Madura, masih banyak wartawan bermental sehat, memaksa bertahan meski dapurnya tidak sehat. Wartawan yang tetap menjaga integritas meski bahan bakar yang terbatas.

Cukup sedih ketika wartawan yang masih mau turun ke lapangan, mengecek data, kadang sampai berseteru dengan narasumber. Tiba-tiba, satu per satu dari mereka mendadak di-PHK. Alasannya klasik: “efisiensi perusahaan”. Padahal, gaji kuli tinta kadang tak semahal tagihan listrik studio influencer.

Baca juga :  Membangun Kesadaran Dampak Media Sosial

Sementara, di sisi lain wartawan gadungan justru semakin laku. Mereka tak perlu kode etik, cukup kode booking hotel dan kamera ponsel. Mereka sudah dibeli, bukan oleh ideologi, tapi dibeli lewat nomor rekening. Pekerjaan mereka bukan menulis kebenaran, tapi mengemas keheningan yang menguntungkan.

Seperti konten “Bupati Tong-tong” konten bermodal gaya nyentrik. Cukup teriak depan kantor, sudah dapat seharga motor, Rp 10 juta dibagi tiga kan lumayan. “Toh kita masih bisa tampil seolah tak terbeli,” ungkapnya.

Memang, terdengar cukup aneh, tapi itu adalah fakta yang bisa dipertanggungjawabkan, toh mereka masih bisa menyamar sebagai penjaga moral. Barang langka yang sebenarnya tidak mereka miliki.

Mungkin mereka tidak sadar kalau perilaku semacam itu bisa membuat kantor redaksi tak lagi penuh dengan suara ketikan. Sepi, hening. Kursi-kursi wartawan bergoyang sendiri seperti mengenang masa lalu.

Pekerjaan wartawan tiba-tiba “diambil alih” oleh Tiktoker, Buzzer dan AI. Buzzer lebih cepat dan tak perlu mikir tapi cukup efektif menyihir audiensnya. Menyulap dunia jurnalistik pada urusan teknis, bukan lagi pada kompetensi etis.

Lebih rumitnya lagi, artis-artis juga tak butuh wartawan. Mereka punya ponsel, cermin kamar mandi, dan algoritma TikTok. Tak perlu wawancara, cukup menari dengan sabun di tangan, lalu tunggu FYP. Sementara itu, jurnalis yang dulu mengejar breaking news kini hanya mengejar SPK pemutusan kerja.

Baca juga :  Pilkada Jatim: Fenomena Calon Tunggal, Politik Kartel atau Konsolidasi Demokrasi?

Ninik Rahayu “Ketua Dewan Pers” tokoh yang jarang FYP menyebut, baru-baru ini dia menerima informasi bahwa gelombang PHK terjadi di sejumlah media.

Kompas TV disebut memangkas 150 karyawan, CNN Indonesia TV 200 orang, TvOne 75 orang, dan Emtek 100 orang. Alasannya seperti dibahas di awal tulusan ini, efisiensi anggaran!

Yang lebih ironis, kini banyak pejabat jadi konten kreator. Gubernur yang merangkap jurnalis, dengan followers lebih banyak dari Ketua Dewan Pers. Ia cukup selfie sambil menyapa warga dan menuliskan caption “bertemu rakyat”, lalu selesai–tak perlu konfirmasi, tak perlu jurnalis. Semua berita bisa disulap dari narasi satu arah.

Negara pun terkesan tak lagi butuh pers, yang dibutuhkan hanyalah buzzer–penjaga gawang digital yang tugasnya bukan menjaga fakta, tapi menggebuk siapa pun yang bertanya.

Pers digantikan oleh penggiring opini. Buzzer yang ahli AI adalah anjing penjaga. Bukan agar rumah aman, tapi agar tak ada yang tahu bahwa di dalam rumah sedang berlangsung pesta korupsi, kolusi, dan kriminalitas.

Baca juga :  Dua Tahun Penuh Cinta

Terakhir, saya ingin memberi alternatif solusi. Anggap saja ini bonus dari kritik pedas. Paling tidak untuk saudara sendiri. Baik yang masih menjabat atau yang sudah bertaubat.

Wajibkan pejabat publik transparan terhadap media. Setiap program dan kebijakan harus bersedia ditanya dan dikritik. Tidak lagi mengancam kerja sama akan dicabut. Hahaha, tapi itu perilaku Kominfo yang kurang Info.

Kedua, dorong sinergi media dan teknologi secara etis. Gunakan AI untuk membantu kerja jurnalis, bukan menggantikan nurani mereka. Publik terus diedukasi agar tahu bedanya antara berita dan sensasi.

Yang teakhir, jika pemerintah benar-benar menganggap pers sebagai pilar demokrasi, seharusnya tidak hanya diundang saat pemilu, tapi dijaga sepanjang waktu.

Jika tidak, bersiaplah hidup di negeri tanpa jurnalis-hanya dengan seleb TikTok, narasi sepihak, dan suara sunyi dari kursi redaksi yang diberi plakat sendiri. (*)

——-

DISCLAIMER: Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, segala isi tulisan bukan tanggung jawab redaksi.

Berita Terkait

TNI Serbu Bea Cukai
Dua Ton Sabu, Rakyat Ribut Soal Jaksa
PT. Sumekar: Karam, Tak Juga Tenggelam
Komedi BSPS Ala Sumenep
Khofifah Gubernur Bukan Emak-emak Pasar Sayur
Akhirnya, Kelas Public Speaking Dibuka
Dua Tahun Penuh Cinta
Di Balik Lensa Media Sosial: Menyoroti Objektifikasi Perempuan dan Dampaknya

Berita Terkait

Kamis, 22 Mei 2025 - 03:35 WIB

TNI Serbu Bea Cukai

Sabtu, 17 Mei 2025 - 04:54 WIB

Dua Ton Sabu, Rakyat Ribut Soal Jaksa

Jumat, 9 Mei 2025 - 03:29 WIB

PT. Sumekar: Karam, Tak Juga Tenggelam

Selasa, 6 Mei 2025 - 11:01 WIB

Komedi BSPS Ala Sumenep

Minggu, 4 Mei 2025 - 14:55 WIB

Selamat Hari Pembantaian Pers Nasional

Berita Terbaru