Oleh: Ridwan Lanya, Mahasiswa Unira
———-
VONIS ringan yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis dalam kasus korupsi yang merugikan negara hingga ratusan triliunan rupiah telah memicu gelombang kritik dari masyarakat luas.
Hukuman 6,5 tahun penjara, denda Rp 1 miliar yang dapat diganti dengan enam bulan kurungan, serta pengembalian kerugian sebesar Rp 210 miliar dianggap tidak sebanding dengan skala kerugian yang ditimbulkan.
Kritik ini mencuat melalui media sosial, di mana publik mengungkapkan rasa frustrasi mereka dengan narasi satir seperti “Beri kami Rp 300 triliun, kami siap dipenjara 6 tahun.”
Ungkapan ini tidak hanya menjadi cerminan humor gelap, tetapi juga ekspresi dari rasa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat terhadap sistem hukum yang dianggap berpihak pada kalangan elite.
Satir ini juga menyoroti ketimpangan perlakuan hukum di Indonesia. Banyak masyarakat kecil yang mendapatkan hukuman berat untuk pelanggaran yang relatif kecil, seperti mencuri makanan karena kelaparan, sedangkan pelaku korupsi besar justru menerima hukuman ringan. Ketimpangan ini memperlihatkan lemahnya penerapan prinsip keadilan substantif dalam sistem hukum.
Hukum sering kali dipersepsikan sebagai instrumen yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, sehingga mencederai rasa keadilan publik.
Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum semakin terkikis, yang berpotensi memicu apatisme terhadap upaya penegakan hukum di masa depan.
Fenomena satir ini juga mencerminkan pemanfaatan media sosial sebagai ruang demokrasi alternatif bagi masyarakat. Ketika saluran formal tidak mampu menampung aspirasi mereka, media sosial menjadi medium untuk menyuarakan kritik dan membangun solidaritas kolektif.
Ungkapan seperti “Beri kami Rp 300 triliun” menjadi simbol protes terhadap sistem hukum yang dianggap tidak adil, sekaligus menjadi cara masyarakat menyampaikan keresahan secara kreatif.
Namun, di balik humor tersebut tersembunyi rasa frustrasi mendalam yang, jika tidak ditangani, dapat merusak legitimasi lembaga peradilan.
Dampak kritik ini tidak hanya terbatas pada masyarakat domestik tetapi juga memengaruhi citra global Indonesia. Vonis ringan dalam kasus besar seperti korupsi menimbulkan persepsi negatif terhadap komitmen Indonesia dalam pemberantasan korupsi.
Hal ini dapat berdampak pada kepercayaan internasional, khususnya dalam bidang investasi dan kerja sama ekonomi. Oleh karena itu, reformasi sistem hukum menjadi kebutuhan mendesak.
Hukuman dalam kasus besar seperti korupsi harus mencerminkan besarnya kerugian yang ditimbulkan dan memberikan efek jera. Selain itu, transparansi dalam proses peradilan perlu ditingkatkan agar keputusan hukum tidak hanya diterima secara formal, tetapi juga secara moral.
Kesimpulannya, satir “Beri kami Rp 300 triliun” mencerminkan keresahan masyarakat terhadap ketidakadilan hukum yang terus berlangsung. Pemerintah dan lembaga hukum harus segera melakukan reformasi mendalam untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan transparan. Tanpa reformasi ini, visi Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi wacana kosong.
Dalam visi tersebut, keadilan merata adalah pilar utama bagi masyarakat yang sejahtera dan bersatu. Jika hukum terus tajam ke bawah dan tumpul ke atas, rasa frustrasi dan apatisme akan meningkat, menghancurkan kepercayaan terhadap negara.
Reformasi hukum yang menyentuh akar permasalahan adalah kunci untuk mewujudkan Indonesia Emas, karena tanpa perubahan ini, cita-cita menjadi negara maju akan semakin jauh dari jangkauan. (*)