Sari Purwati, Direktur Klik Madura
___________
RAMAI lagi, heboh lagi, soal KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga). Jagad raya media sosial langsung merespons cepat unggahan selebgram Cut Intan Nabila terkait rekaman CCTV yang memperlihatkan penyiksaan fisik yang dilakukan suaminya, Armor Toreador, di kamar mereka. Seperti ledakan bom, unggahan itu mendapat respons yang sangat cepat dan memicu kemarahan publik atas apa yang dialami dalam rumah tangga keduanya.
Belum kering di ingatan kita kasus Polisi Wanita (Polwan) Briptu Fadilatun Ni’mah yang nekat membakar hidup-hidup suaminya Britu Rian hingga tewas. Kini kembali lagi kasus KDRT membuat publik geram, mengapa harus berakhir tragis sebuah konflik dalam pernikahan?
Toxic relationship atau hubungan toxic adalah hubungan tidak sehat sehingga membuat individu yang terlibat di dalamnya merasa tidak bahagia, direndahkan, mengalami ketidakadilan, selalu menjadi sasaran amarah yang berakhir pada kekerasan verbal, psikologis maupun fisik.
Apakah KDRT disebut hubungan toxic? Dalam beberapa artikel disebutkan toxic relationship adalah situasi yang tidak dapat dianggap sepele. Jika dibiarkan, hubungan yang tidak sehat tersebut dapat mempegaruhi kesehatan mental maupun fisik seseorang. Dan ini berbahaya jika dibiarkan.
Yang membuat kita harus waspada adalah: TERNYATA ADA, ada loh yang akhirnya harus berakhir menyesal ketika bersikeras mempertahankan hubungan yang toxic hanya demi pencitraan di media sosial. Ada loh yang tetap memilih bertahan memamerkan kebahagiaan dalam frame kamera padahal hubungannya sangat membahayakan bagi psikologinya. Bahkan, yang lebih berbahaya adalah berdampak pada psikologi anaknya.
Yang membuat saya miris adalah, caption dalam unggahan rekaman CCTV yang dibuat Cut Intan Nabila adalah dia memilih bertahan dalam rumah tangga tersebut dengan alasan anak. Padahal tindak kekerasan yang dialami dari suaminya itu berlangsung sejak 2020.
Sungguh saya tidak habis pikir, bagaimana dia melewati hari sebagai perempuan yang merupakan seorang publik figur sekaligus working mom yang memiliki 3 anak menjalani hubungan selama 4 tahun dalam kondisi tertekan.
Sebenarnya kalau boleh saya mengatakan, bertahan dalam suatu hubungan karena anak itu tidak sepenuhnya dibenarkan. Sebab, anak yang dibesarkan dengan lingkungan yang tidak baik justru akan membahayakan anak itu sendiri. Bagaimana jika kekerasan yang menimpa ibunya dipertontonkan di depan anak dan terekam dalam memori masa kecilnya?
Bukankah akan menanam sesuatu yang buruk secara berkelanjutan. Sementara, kekerasan fisik yang pastinya diikuti dengan kekerasan verbal itu, dilakukan oleh bapaknya. Yang mana, bapak dalam sebuah rumah tangga berfungsi sebagai imam, pelindung bagi seisi rumah.
Lantas alasan bertahan karena anak dapat dibenarkan? Menurut analisa saya pribadi (maaf jika salah) seseorang yang bertahan dalam sebuah toxic releationship sebenarnya adalah pilihannya sendiri. Sebab, dia yang mengizinkan hubungannya tetap berjalan dengan berbagai alasan. Anak bukan alasan utama, meski kemudian masuk dalam deretan alasan yang dikhawatirkan dalam sebuah perjalanan life after divorce.
Namun, kalau boleh bisa analisa alasan yang utama adalah bahwa perceraian menjadi momok yang sangat menakutkan dalam sebuah hubungan pernikahan. Banyak orang yang menilai bahwa bercerai atau menyerah dalam sebuah hubungan pernikahan adalah aib besar sehingga siapapun akan menghindari meskipun hubungan itu ternyata berdampak buruk bagi kehidupannya. Apalagi bagi seorang public figure.
Padahal, merujuk dalam ajaran agama Islam, perceraian adalah sesuatu yang halal meskipun sangat dibenci oleh Allah. Bercerai menjadi pilihan terakhir apabila sudah tidak ada jalan keluar lainnya. Seperti disebutkan dalam surat Al-Baqorah ayat 227 yang artinya ”Dan Jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh Allah maha mendengar, Maha Mengetahui,”.
Bahkan, dalam agama Islam sangat jelas diatur mengenai hukum cerai. Bisa jadi Wajib, Sunnah, Makruh, Mubah bahkan Haram. Banyak referensi yang mengatur tentang adab dalam pernikahan dan hukum perceraian secara detail.
Dalam kasus KDRT ini saya rasa kemudian bukan lagi dibenarkan bertahan dalam sebuah pernikahan karena alasan anak. Ini bukan alasan utama. Namun, apapun alasan dibalik seseorang bertahan dalam sebuah hubungan yang toxic bukan tupoksi saya untuk menghakimi.
Melalui catatan ini saya mengajak untuk semua pasangan yang berada dalam suatu hubungan pernikahan. Baik itu laki laki maupun perempuan. Tolong, kenali betul bagaimana diri kita dan pasangan kita dalam mengarungi bahtera pernikahan.
Penting untuk melihat apakah pernikahan itu membawa manfaat atau membawa kemudharatan dalam kehidupan kita dan tentunya keturunan kita. Jangan hanya demi sebuah legalitas formal maka kemudian menyampingkan tujuan utama pernikahan yaitu sakinah mawaddah warohmah.
Dan di akhir tulisan ini, saya tegaskan bahwa: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) jelas jauh dari sebuah tujuan pernikahan. Wallahua’lam… (*)