Oleh: Fauzi As, Pengamat Kebijakan Publik.
——-
IGA hari lalu, saya menulis artikel sederhana tentang narkoba dan gerbang kehancuran sosial di Madura. Tak ada teori rumit, hanya pengamatan jujur dari tanah yang makin akrab dengan narkoba, celurit, dan kematian.
Tapi entah mengapa, tulisan yang saya posting di TikTok itu diserbu jutaan penonton. Bukannya fokus pada isi, meski banyak yang membela, sebagian netizen justru ramai bertengkar, dari teori konspirasi, debat agama, sampai gosip tentang warna seragam TNI.
Padahal, saya hanya menuliskan bahwa narkoba merusak mental, merusak keluarga, dan mungkin tanpa kita sadari juga merusak fondasi kebangsaan.
Bukan tanpa data, semua di depan mata. Pada Selasa, 29 April 2025, sabu seberat 14,8 kg dan 8,3 kg hasil tangkapan BNNP dimusnahkan di Kabupaten Sampang. Tapi ya sudahlah, mungkin kita memang lebih suka debat dibanding tindakan.
Sementara itu, netizen ribut soal TNI jaga jaksa, dan perlahan dijawab oleh TNI AL yang diam-diam menangkap hampir 2 ton narkoba. Iya, dua ton, bukan dua sak beras. Ini bukan lemparan pabrik kecil, tapi pengiriman besar lintas negara.
Kapalnya dicegat di perairan Tanjung Balai Karimun oleh Koarmada I. Barang haram itu dikemas rapi dalam karung-karung kuning dan putih, seolah sedang mengirim bantuan pangan, padahal isinya racun pembunuh akal sehat.
“Iya benar, kita mengamankan hampir 2 ton narkotika jenis sabu-sabu,” ujar Laksda TNI Fauzi, Pangkoarmada I, kepada CNNIndonesia.com, Jumat (16/5).
TNI tak banyak bicara. Mereka tak bikin podcast atau konten drama YouTube. Mereka tak rebutan mikrofon seperti politisi yang sok khawatir. Mereka hanya bekerja.
Tapi, publik masih ribut soal TNI mengawal jaksa. Ada yang menyindir seolah TNI jadi “bodyguard hukum”, ikut-ikutan jagain kejaksaan.
Padahal, bukankah lebih logis jika kita bertanya: “Kenapa jaksa sekarang sampai butuh dijaga?” Apa khawatir kehilangan mobil sitaan? Atau, karena koruptor kakap penuh ancaman?
Saya mendapat bisikan bahwa jaksa sedang membidik mafia tembok besi yang hanya bisa di tembus oleh tank TNI.
Kejahatan hari ini bukan hanya soal maling kosmetik yang diviralkan. Tapi koruptor berseragam, mafia tanah, mafia tambang, mafia BBM, dan yang terbaru, mafia narkoba, ini perang gaya baru yang juga membunuh jutaan generasi bangsa.
Lalu, kita masih merasa Indonesia baik-baik saja? Kalau lembaga penegak hukum harus dijaga tentara, itu bukan salah tentara. Itu cermin bahwa penjahat sudah tidak takut lagi pada hukum. Penjahat bisa pakai cara apapun, seperti yang di alami Novel Baswedan.
Dan, TNI datang bukan untuk gagah-gagahan. TNI tahu, jika negara sedang diserbu senjata pembunuh massal bernama korupsi dan senjata gaya baru bernama sabu-sabu.
Maka, sudah sewajarnya jika bagi TNI tak ada bedanya peluru dan pil sabu, sama-sama membunuh generasi secara massal.
Dua ton sabu berhasil dicegat oleh TNI. Tapi di medsos, yang viral justru debat kusir soal politik, jenderal, dan jaksa.
Mungkin kita memang lebih cocok jadi komentator tanpa kita sadari bahwa anak cucu kita, tetangga kita sudah hidup setengah jiwa.
Akhirnya tentara sibuk mencegat racun, dan kita masih sibuk menyebar racun berupa opini negatif terhadap TNI.
Lalu, ketika kelak anak-anak kita hidup tanpa empati dan budi pekerti, akibat dari berton-ton sabu yang lolos, kita akan menyesal, tapi mungkin masih sempat membuat status: “Kenapa dulu kita malah ribut soal seragam, bukan soal narkoba?” (*)