Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.
——–
ERANG Galia, adalah satu di antara ribuan perang pada masa kekaisaran Romawi yang paling dikenang. Di bawah komando Vercingtorix, rakyat dari suku-suku Galia mampu pukul mundur tentara superior Romawi.
Julius Caesar, sang panglima perang menangis sesegukan melihat bala tentaranya terkapar tak berdaya. Mereka takluk. Dibekuk oleh kekuatan besar yang lahir dari menyatunya kekuatan rakyat kecil.
Persatuan menjadi kata kunci kemenangan suku-suku Galia. Julius Caesar mencoba melakukan serangan susulan. Terlebih dahulu, dia mencoba meruntuhkan kekuatan lawan dengan politik pecah belah.
Satu persatu suku-suku Galia dirasuki dan disuguhi kesenangan. Mereka ditawari harta, tahta bahkan wanita. Cara ini cukup ampuh. Persatuan suku Galia pecah. Kekuatan mulai goyah. Lemah.
Tapi, lagi-lagi Vercingtorix menjadi juru selamat. Suku yang mulai terpecah belah dirajut kembali. Kemudian, menjelma kekuatan super power. Akhir cerita, Julius Caesar harus menerima kekalahan.
Perjuangan suku Galia dalam mempertahankan tanah lahirnya dari kerakusan Julius Caesar sama seperti perjuangan masyarakat Desa Tanjung, Kecamatan Pademawu, Pamekasan.
Masyarakat pesisir itu juga berjuang mempertahankan tanah lahirnya dari agresi korporasi. Sekitar 20 hektare tanah negara yang mestinya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, kini diprivatisasi.
Dipecah menjadi 8 sertifikat hak milik (SHM). Sebagian dari tanah itu diperjualbelikan. Sebagian lagi, akan dikelola menjadi tambak garam. Nelayan resah. Mereka khawatir, alam yang selama ini menjadi tempat mencari nafkah rusak dan tercemar.
Di tengah keresahan itu, perlawanan lahir. Panglimanya adalah Nur Faisal. Miskari berperan sebagai jenderal lapangan. Dua sekawan itu konsen melakukan perlawanan sejak puluhan tahun silam. Sejak Faisal masih muda. Sejak darah juangnya baru mendidih dan menggelora.
Sampai sekarang masih eksis. Masih konsisten. Tanpa kenal lelah. Tak tergoda bujuk rayu. Imannya tak goyah meski ada tawaran hidup mewah. Uang ratusan juta siap diantar asal dia diam.
Godaan-godaan itu tidak membuat Faisal junub idealisme. Justru, gerakannya semakin massif. Instrumen yang digunakan semakin lengkap. Mulai lapor kepolisian hingga aksi turun jalan.
Perjuangannya belum usai. Tanah negara itu masih sah sebagai milik pribadi Haji Syafii dan kawan-kawan. Bahkan, sempat muncul SPPT baru atas nama Zabur, sang kepala desa.
Semoga, iman perjuangan Faisal tidak pernah goyah. Demi masa depan anak negeri. Demi para nelayan yang tak henti mengukir mimpi. Demi bumi pertiwi yang gemah ripah loh jinawi.
Kabarnya, ada negosiasi. Persis seperti yang dilakukan Julius Caesar untuk membungkam suku Galia. Faisal dikabarkan dapat tawaran menggiurkan. Mulai dapat bagian tanah seluas 2 hektare, mobil Pajero hingga uang Rp 300 juta.
Saya yakin kabar itu tidak benar. Tidak mungkin perjuangan yang berlangsung sejak puluhan tahun silam ditukar dengan aset dan nominal. Ini bukan hanya sekadar soal uang, tapi soal hajat hidup dan kehormatan.
Maka, kabar itu tidak perlu diklarifikasi, cukup kita doakan saja. Semoga, Bung Faisal tidak junub idealisme. Semoga iman perjuangannya tak goyah. Tidak onani di tengah perjuangan abdikasi. Selamat berjuang, Bung! (*)