Oleh: Fauzi As, Pengamat Kebijakan Publik.
——-
KISAH pilu BUMD di Sumenep kembali mengapung ke permukaan. BUMD dengan riwayat tongkang rusak sebelum dipakai. Bukan karena prestasi, bukan pula karena inovasi. Tapi, karena satu hal yang paling dasar dalam kehidupan kerja yaitu gaji yang tak dibayar.
Ya, PT Sumekar, institusi bisnis milik Pemerintah Kabupaten Sumenep. BUMD ini bergerak dalam bidang jasa transpotasi laut yang seharusnya menopang ekonomi lokal justru menjadi pengganjal hidup bagi karyawannya sendiri.
Kisah ini bukan karangan. Dikutip dari Radarmadura.id, Kamis, 8 Mei 2025 | 13:10 WIB. Lima karyawan PT Sumekar mengalami nasib yang benar-benar sial.
Mereka diberhentikan secara sepihak sejak 9 Januari 2025. Tapi bukan hanya diberhentikan, mereka juga tidak mendapatkan gaji terakhir dan tidak disertai pesangon.
Lima nama itu bukan tokoh fiktif. Mereka adalah Haryono, Agus Perdana, Wulandari, Faridatul Sudiana, dan Siti Ummiana. Mereka bekerja, mereka mengabdi.
Tapi ketika perusahaan sedang karam, justru mereka yang pertama kali dibuang ke laut tanpa pelampung. Yang lebih menyayat, ternyata mereka tidak digaji selama 22 bulan.
Dua puluh dua bulan bekerja tanpa bayaran. Itu bukan sekadar penundaan, itu perampasan hak atas hidup. Perampasan susu bagi anak-anaknya, perampasan nafkah untuk orang tuanya.
Pihak direksi PT Sumekar, dalam gaya klasik pengelola BUMD, berkelit bahwa pembayaran akan dilakukan jika keuangan perusahaan “sudah memungkinkan”. Tapi saat ditanya kapan tepatnya itu akan terjadi, jawabannya lugas: tidak tahu.
“Kami digantung. Dan merekapun beralasan ini PHK paling sakral sudah ikut fatwa undang undang,”.
BUMD: Bukan Untuk Masyarakat Daerah?
Mungkin kita selama ini salah paham. Kita kira BUMD itu Badan Usaha Milik Daerah, untuk kepentingan rakyat daerah.
Tapi ternyata, pada praktiknya, sebagian justru berfungsi seperti kapal tua: mengapung tak tentu arah, tanpa arah bisnis yang jelas. Hanya mengangkut elit sebagai nahkodanya.
Gaji direksi? Mungkin masih cair. Honor rapat komisaris? Mungkin jalan terus. Tapi gaji karyawan? Menunggu “keuangan sehat” yang tak pernah benar-benar hadir. Apakah ini sistem atau sekadar pengabaian hak yang dilegalkan oleh struktur birokrasi?
Karam Tapi Tak Tenggelam
Yang unik dari PT Sumekar adalah kemampuannya untuk karam tanpa tenggelam. Tidak bergerak, tidak berkembang, tapi juga tidak dibubarkan. Ia seperti kapal pembocor APBD, meski tidak punya arah layar.
Dan, yang tetap setia menunggu hanyalah para awak kapal, para karyawan yang pelan-pelan dilupakan. Mereka tidak hanya kehilangan pekerjaan. Mereka kehilangan harga diri, kehilangan akses terhadap hak-hak normatif mereka sebagai pekerja. Tapi tidak ada yang benar-benar bertanggung jawab.
Mungkin sudah waktunya kita ubah kepanjangan BUMD : Badan Untuk Mencari Dana. Ya, dana kampanye, dana rental mobil partai, bahkan dana kopi buzzer yang nongrong di kolom komentar untuk sekedar menulis “Barisan Sakit Hati.”
Hari ini buzzer saya turuti, saya berikan bonus berupa solusi. Meski belum tentu dibaca, belum tentu diterima.
Pertama, Bupati harus punya ketegasan untuk evaluasi PT Sumekar. Langkah korektif yang akan menjadikan BUMD bukan hanya penyedia layanan, tapi juga pendorong pertumbuhan ekonomi maritim daerah. Bukankah pemerintah punya kekuatan intervensi untuk bekerjasama dengan pihak ketiga.
Kedua, Armada kapal yang sudah tua, tidak efisien. Ketergantungan pada APBD tanpa strategi bisnis yang jelas. Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap layanan. Kurangnya transparansi dan profesionalisme manajerial.
Minimnya integrasi dengan pelaku ekonomi di pulau-pulau kecil. Ya, fokus disitu dulu. Jika perlu segera beli buku “Bisnis Model Canvas dan Eisenhower Matrix.” Agar tahu model-model bisnis dan prioritas menyelesaikan masalah.
Ini bukan guyonan, ini solusi agar Bupati Mengerti bahwa cukup berbahaya jika kapal besar bernama Sumenep hanya diarahkan oleh pembisik. “Bukan oleh pengetahuan,”. (*)
—–
DISCLAIMER: Tulisan ini memuat pendapat pribadi penulis, segala isi tulisan bukan tanggung jawab redaksi.