Oleh: Silvia Supriyanti, Mahasiswa Universitas Brawijaya.
———–
PERKEMBANGAN teknologi menghadirkan media sosial sebagai ruang baru untuk berkomunikasi dan berbagi ekspresi satu sama lain. Namun, dibalik peluang positif yang ditawarkan, media sosial juga menyimpan sisi gelap yang semakin mengkhawatirkan, salah satunya adalah fenomena objektifikasi pada perempuan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Objektifikasi perempuan terjadi ketika perempuan diperlakukan bukan sebagai objek visual untuk memenuhi standar kecantikan yang sempit atau kebutuhan konsumsi massa. Hal ini tidak hanya terjadi di dunia nyata, tetapi semakin marak dalam dunia digital, terutama melalui media sosial seperti Tiktok, Instagram mapun X (twitter sebelumnya).
Perempuan seringkali dinilai berdasarkan penampilan fisik semata, dengan komentar-komentar bernada seksis, pemujaan terhadap standar kecantikan tertentu atau bahkan eksploitasi visual yang dilakukan demi popularitas semata. Dalam hal ini, seringkali kita temukan pada komentar-komentar yang menyebutkan kata “pulen, aura maghrib, maupun logo tesla”.
Komentar seperti ini dapat memberikan dampak rasa takut pada individu pemilik postingan. Ketakutan ini tidak hanya bersifat sementara tetapi dapat berkembang menjadi tekanan psikologis yang serius.
Misalnya individu yang menerima komentar-komentar semacam ini mungkin merasa bahwa dirinya tidak dihargai sebagai pribadi yang utuh, melainkan sekadar objek hiburan.
Bahkan, komentar-komentar ini kerap kali menjadi alat untuk melemahkan mental seseorang dengan cara yang sulit diprediksi dampaknya. Pada akhirnya, individu tersebut enggan mengekspresikan dirinya di media sosial.
Masalahnya tidak berhenti disini, dampak sistematik dari fenomena ini adalah terciptanya budaya online yang toksik dimana objektifikasi akan dianggap sebagai hal yang lumrah dan akan menjadi kebiasaan baru masyarakat dalam bermain media online.
Dampak yang diberikan tidak hanya pada kebiasaan toksik, tapi dapat merusak citra diri dan menyinggung pada kesehatan mental seseorang. Komentar sampah tersebut akan menimbulkan tekanan tinggi seseorang untuk mencapai standar kecantikan yang hampir mustahil. Di sisi lain, fenomena ini juga memperburuk ketimpangan gender.
Objektifikasi mengerdilkan peran perempuan menjadi sekadar objek visual. mengaburkan kontribusi intelektual, profesional, dan personalnya. Padahal, perempuan memiliki peran besar dalam berbagai sektor kehidupan yang layak diakui dan dihormati tanpa perlu dibingkai oleh standar fisik semata. Mematahkan objektifikasi perempuan ini sangat diperlukan dalam menguatkan literasi digital dan gender.
Pemahaman yang mendalam tentang bahaya objektifikasi, dampaknya, dan cara melawannya harus menjadi bagian dari narasi pendidikan. Perempuan juga perlu terus didorong untuk membangun kepercayaan diri berdasarkan kemampuan dan potensi, bukan sekadar penampilan. Dengan menghormati perempuan sebagai individu yang utuh, kita dapat melangkah ke arah masyarakat yang lebih inklusif. (*)