Sari Purwati, Direktur Klik Madura
———————
SEKETIKA semua buyar, saat ada notif masuk di WA pribadi saya. “Cepat pulang, Madura lagi ramai ngapain cari keramaian ke luar negeri. Hidupmu di Madura,” isi chatnya ditutup dengan emoticon tertawa.
Kemarin, tepatnya Minggu 17 November baru saja saya menginjakkan kaki di Madura setelah melakukan perjalanan ke luar negeri selama 5 hari. Iya saya baru saja pulang mbolang ke negeri seberang sebagai solo traveller ke Kuala Lumpur dan Singapore. Meski di dua negara itu saya ditemani saudara, tapi saya benar-benar berangkat sendiri dari Indonesia.
Sepanjang 5 hari otak saya penuh dengan bahan tulisan untuk pembaca Klik Madura. Hal-hal positif dan kekaguman yang terkesan norak barangkali, tapi sungguh sayang untuk tidak diabadikan dalam tulisan. Nanti akan saya tulis, tidak hari ini.
Rencana saya buyar seketika saat saya menerima banyak notif di grup yang isinya video carok di Sampang tepatnya di Kecamatan Ketapang. Pasti ada yang tidak terima dengan kata carok. Itu bukan carok, tapi perkelahian yang membawa senjata tajam khas Madura yaitu celurit.
Iya benar, sangat tidak benar ditulis peristiwa di Madura yang berkelahi dengan kata Carok. Sebab definisi carok yang sebenarnya bukan begitu. Bisa kita googling bersama, carok adalah tradisi masyarakat Madura yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah dengan cara bertarung demi mempertahankan harga diri dan kehormatan. Senjata yang digunakan, celurit.
Lalu, benarkah yang terjadi di Sampang tidak dikatakan sebagai carok oleh banyak orang? benarkah orang Madura sendiri yang melihat perkelahian dengan menggunakan clurit tidak bilang carok? benarkan masyarakat kita sdh teredukasi dengan baik soal kata carok ini?
Melihat video yang beredar, beberapa orang tampak menenteng clurit dengan santai sembari berbicara lantang seperti orang bertengkar membuat saya sedih sekali. Mungkin lebih tepatnya trauma.
Apa benar video-video yang beredar di kalangan masyarakat itu kemudian tidak diberi caption carok di Sampang. Meski sejumlah media sudah menulis pembacokan, tapi tetap saja orang Madura sendiri mengenalnya dengan istilah carok, cong?
Saya tidak mempersoalkan istilah, tapi jujur saya sedih dengan ini semua. Saya yang lahir dan besar di Madura sejak kecil sudah sangat lumrah mendengar kata carok padahal saya tinggal di kota.
Semasa kecil saya punya famili seumuran dengan saya dari Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan. Dia yatim dan tinggal bersama saya sebab bapaknya meninggal karena dibacok dengan clurit saat berkelahi dengan tetangganya, di depan matanya.
Apakah saat dia bercerita akan mengatakan berkelahi? Tidak. Dia jelas bilang carok. Dan, itu meninggalkan trauma mendalam.
Melancong saya keluar negeri melihat betapa luar biasanya perkembangan negara di sana seketika buyar. Madura yang aku cintai masih tidak baik baik saja.
Entah bagaimana caranya, sepertinya ada yang harus diatur oleh pemerintah soal kepemilikan senjata tajam ini (celurit). Sebab, perkara menenteng clurit dan berkelahi ini tidak bisa di lepaskan dari bahasa carok dan kata carok inilah yang membuat identitas sangat buruk di mata orang di luar Madura.
Padahal, jika saja semua orang tahu, Masyarakat Madura itu sangat ramah, sangat beradab dan memiliki sopan santun yang baik antar sesama. Hanya karena dengar kata carok saja, langsung lemas orang luar sama Madura.
Semoga semua segera berlalu, Maduraku bangkit, SDM-nya semakin membaik, sehingga bukan mimpi kelak anak-anak kita akan menikmati perkembangan wilayah Madura seperti Singapura. Di mana, berdasarkan catatan di google, Pulau Madura jauh lebih luas dari Singapura.
Semoga apa yang terjadi kemarin di Sampang adalah yang terakhir kali dan aparat kepolisian serta pemerintah mampu mengatasi dan mengantisipasi apapun bentuk perkelahian di Madura yang kemudian menjadi sebuah cerita “Carok”. Naudzubillah.. (*)