Oleh: Willy Aditya, Ketua Komisi XIII DPR RI Dapil Madura.
—–
KEHIDUPAN ini dibangun dengan prinsip keadilan. Di alam semesta, prinsip ini termanifestasi dalam hukum-hukum keseimbangan dan kesetimbangan dari setiap elemen pembangunnya.
Dalam Al-Qur’an, Tuhan menegaskannya begitu gamblang: “Kamu tidak akan melihat pada ciptaan Yang Maha Pengasih ketidakseimbangan sedikit pun. Maka, lihatlah sekali lagi! Adakah kamu melihat suatu cela?”
Dalam konteks filosofis maupun historis, suara keadilan memiliki sifat yang abadi dan tak terbungkam. Ia mungkin ditekan, didistorsi, atau diabaikan untuk sementara waktu, tetapi ia selalu muncul kembali seperti api dalam sekam. Ini karena keadilan adalah kebutuhan intrinsik dari jiwa manusia dan komunitas sosialnya.
Kata Martin Luther King Jr., “The arc of the moral universe is long, but it bends toward justice.” Lengkung semesta moral ini panjang, tetapi ia akan selalu membengkok ke arah keadilan.
Inilah kiranya yang kembali menjadi spirit warga Madura dengan aspirasi pemekarannya. Sebagai seorang yang telah lama mengamati dinamika sosial-politik di Tanah Air, isu mengenai pemekaran Madura bukanlah hal asing.
Ia bagai nyala api yang tak pernah padam; terkadang redup, namun seringkali berkobar kembali, membawa serta harapan dan perdebatan. Buku yang ditulis dengan penuh dedikasi ini hadir bukan untuk memihak secara membabi buta, tetapi untuk menerangi, dengan keadilan sebagai mercusuar utamanya.
Buku ini bukan pula sekadar kumpulan data dan analisis kering. Lebih dari itu, ia adalah sebuah upaya untuk merajut narasi. Ia merajut benang-benang sejarah yang panjang, kekuatan budaya yang gigih, serta argumentasi ekonomi yang rasional, menjadi sebuah kain utuh yang mempresentasikan sebuah mimpi kolektif. Mimpi untuk berdiri sejajar, untuk mengelola sendiri rumah tangganya, dan untuk menentukan masa depannya sendiri di bawah panji Provinsi Madura.
Pada jantung perbincangan ini, terletak sebuah prinsip mendasar tadi: keadilan. Buku ini menyerukan keadilan dalam pembagian sumber daya, keadilan dalam akses pembangunan, dan keadilan untuk memiliki suara yang setara dalam menentukan arah pembangunan sendiri.
Ia membuka ruang refleksi, apakah struktur pemerintahan yang ada telah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat Madura, atau justru meminggirkan mereka dalam arus utama pembangunan di Jawa Timur.
Penulis telah dengan cermat dan berimbang memaparkan semua sisi wacana ini, termasuk tantangan dan kerumitannya. Pendekatan inilah yang membuat buku ini layak menjadi bacaan wajib bagi siapa saja: mulai dari warga Madura sendiri, para pengambil kebijakan di Surabaya dan Jakarta, akademisi, hingga publik luas yang peduli pada masa depan otonomi daerah dan penegakan keadilan spasial di Indonesia.
Akhir kata, saya meyakini bahwa sebuah gagasan besar harus dimulai dengan percakapan. Buku ini adalah undangan untuk bercakap, berdebat secara sehat, dan akhirnya, bermimpi bersama tentang sebuah keadilan yang dirajut menjadi kenyataan. Dalam karya monumentalnya, Mukadimah, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa ketika keadilan ditegakkan dan rasa aman menyebar luas, maka manusia akan saling bekerja sama dalam aktivitas perekonomian, sehingga negara pun menjadi makmur.
Selamat kepada penulis yang telah berani mengambil peran penting dalam memulai percakapan panjang ini. Semoga buah pikirannya tidak hanya menjadi arsip, tetapi menjadi pemantik langkah-langkah nyata menuju Madura yang lebih maju, mandiri, dan berkeadilan.
Jakarta, 27 Oktober 2025
——-
Narasi ini dikutip dari buku Merajut Mimpi Madura Provinsi karya Prengki Wirananda.














