PAMEKASAN || KLIKMADURA – Penghentian penyidikan kasus dugaan korupsi dalam kegiatan Gebyar Batik Pamekasan (GBP) oleh penyidik Polres Pamekasan terus menuai sorotan.
Salah satunya, datang dari Akademisi Universitas Madura, Mohammad, S.H., M.H. Dia menilai, langkah tersebut bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.
Menurut dosen hukum pidana itu, tindak pidana korupsi tidak bisa dihentikan begitu saja. Apalagi, jika sudah memasuki tahap penyidikan.
“Jika suatu kasus sudah masuk dalam tahap penyelidikan, maka polisi harus mengacu pada Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 Pasal 9. Dalam aturan itu ditegaskan, hasil penyelidikan harus dilakukan gelar perkara untuk menentukan apakah kasus tersebut merupakan tindak pidana atau bukan,” tegasnya.
Mahasiswa S3 Untag Surabaya itu menyampaikan, apabila dalam gelar perkara ditemukan unsur pidana, maka kasus wajib dilanjutkan ke tahap penyidikan untuk mencari siapa pelakunya. Jika tidak ditemukan unsur pidana, barulah penyelidikan bisa dihentikan.
“Ini bukan kasus perdata. Kalau sudah dinyatakan ada unsur tindak pidana, maka tidak bisa dihentikan begitu saja. Harus ditelusuri siapa pelakunya,” imbuhnya.
Ia menyoroti keputusan Polres Pamekasan dalam menghentikan penyidikan tanpa menetapkan tersangka. Menurutnya, hal itu bertentangan dengan ketentuan dalam KUHAP, khususnya Pasal 109 ayat (2).
Aturan itu mengatur bahwa Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) hanya bisa dikeluarkan jika tidak terdapat cukup bukti, peristiwa bukan tindak pidana, atau demi hukum. Namun, SP3 seharusnya terbit setelah adanya penetapan tersangka.
“Kalau dalam tahap penyidikan tidak ditemukan kerugian negara, baru bisa dihentikan. Tapi ini belum ada tersangka, kasus sudah dihentikan. Itu menyalahi prosedur,” tegasnya.
Ia juga mengkritik keterlibatan Inspektorat Daerah dalam proses investigasi sebagai dasar pertimbangan. Menurutnya, Inspektorat tidak cukup independen dalam menilai adanya kerugian negara.
Ia menyarankan agar penyidik meminta lembaga audit negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit.
“Inspektorat menurut saya kurang independen, walau tidak keliru. Tapi untuk kasus korupsi, sebaiknya gunakan hasil audit dari lembaga negara seperti BPK atau BPKP,” katanya.
Di akhir pernyataannya, Mohammad mendorong agar masyarakat dan aparat penegak hukum tidak tinggal diam. Ia menyebut bahwa kasus ini masih bisa dibuka kembali, bahkan dapat dilaporkan ke kejaksaan.
“Masyarakat jangan diam. Kasus ini bisa diajukan kembali dengan cara melaporkan ke kejaksaan,” tandasnya.
Sebelumnya, Polres Pamekasan mengumumkan bahwa kasus dugaan korupsi GBP 2022 dihentikan. Alasannya, karena berdasar hasil audit Inspektorat Pamekasan, tidak ditemukan kerugian negara. (ibl/diend)