Oleh: Fauzi As, Pengamat Kebijakan Publik.
——-
ULISAN ini untuk Amran Sulaiman, Menteri yang lagi trend di TikTok. Pak Menteri yang kami cintai, kini Sumenep tercekik di tengah guyuran APBN. Ironinya, BSPS, PIP, Upland dan APBN lain, terjadi masalah di tanah kelahiran Ketua Banggar DPR RI sendiri.
Sejak 2022, dana Rp 60 miliar lebih untuk satu program UPLAND saja. Uang yang seharusnya mengalir ke ladang-ladang petani dataran tinggi, tahun 2025 ini bagai ilusi.
Alih-alih menjadi pupuk bagi kesejahteraan, dana itu justru seperti disemai di meja-meja perjamuan para elit.
Tahun ini, suntikan anggaran kembali ditambah, jumlahnya tidak kecil, belasan miliar rupiah. Namun, yang tumbuh bukan ketahanan pangan, melainkan jaringan kepentingan.
Program bernama UPLAND itu kini lebih layak disebut UPLINE: Uang Petani Langsung Infaq ke Elit. Program ini disusun dengan manis di atas kertas, berlabel kerja sama strategis Pemerintah Indonesia dengan IFAD dan ISDB.
Tapi di lapangan, ia menjelma menjadi mesin pemeras setoran, instrumen pemalakan kelompok tani, dan ladang subur bagi kekuasaan lokal.
Ya, Ketua Banggar memang dari Sumenep, tapi rakyat tak lagi merasa punya wakil. Apa arti jabatan strategis Ketua Badan Anggaran DPR RI jika tak mampu menjadi pengawal uang negara yang dirampok di halaman rumahnya sendiri?
Bukannya membuat para oknum ketakutan, posisi ini justru terkesan menjadi lampu hijau bagi para pemburu rente untuk memperluas lapangan, merekrut pemain baru, dan menyiram jaringan yang sudah lama tumbuh subur.
Ketua Banggar hanya terlihat aktif ketika dipanggil Menteri Ara, tapi diam saat APBN lain dirampok di kampung halamannya. Memang rakyat Sumenep tak tahu siapa saja tamu yang keluar masuk rumah dinas beliau.
Tapi yang pasti, suara rakyat justru hilang di tengah sorak tepuk tangan dari para elite peliharaannya.
Bantuan yang Menyamar Jadi Pemerasan Petani.
Awalnya rakyat menyambut UPLAND dengan penuh harapan. Tapi harapan itu cepat berubah menjadi keresahan. Sebelum bantuan selesai turun, mereka harus ikut pengarahan teknis yang tidak lain adalah instruksi minimal setor 20 persen.
Bukan pajak, bukan potongan zakat Baznas, bukan iuran resmi. Ini murni “swadaya”, sebuah istilah yang mereka rancang untuk menyamarkan dengan regulasi. Hei bro! swadaya itu bukan anggaran mereka yang dipotong.
Contoh: jalan usaha tani (JUT) 100 meter, 80 meter Upland 20 meter Rakyat. Bukan 80 meter masih kamu potong sisa 64 meter. Lalu itukah juknis Upland? Ya, mungkin ini swadaya versi lain.
Sudah itu anggaran mereka masih dipotong untuk belanja keperluan barang, dengan harga di atas pasaran dan tanpa ruang negosiasi. RAB menjadi kitab suci yang tak bisa dibantah, dan petani menjadi umat pasrah yang harus tunduk pada tafsir oknum.
UPLAND bukan lagi program negara. Ia hanya menjadi hadiah ulang tahun kekuasaan, dikemas dalam proposal dan berita acara. Petani yang benar-benar berhak justru tersingkir, tak punya akses, tak punya beking, tak punya suara.
Petani Hanya Penerima Formalitas
Yang pertama panen bukan petani. Tapi mereka yang tak pernah mencangkul, tak pernah ke sawah, hanya tahu kapan dana cair, dan siapa yang harus diberi ‘jatah’.
Petani hanya jadi alat pelengkap: untuk foto, untuk laporan, untuk justifikasi. Padahal di ladang, yang tumbuh bukan hasil pertanian, tapi kekecewaan dan hutang.
IFAD, ISDB, dan Negara: Kalian Sedang Membiayai Apa?
IFAD dan ISDB perlu bertanya pada diri sendiri: Apakah dana pinjaman mereka benar-benar memperkuat petani, atau sedang disedot jadi celengan politik lokal?
Dan, kepada Amran Komandan Kementerian Pertanian: Apakah Anda sungguh tidak tahu?
Atau memang memilih pura-pura tidak mendengar demi menjaga harmoni politik?
Jika tidak ada pembenahan, maka kerja sama ini hanya akan memperluas ladang rente dan menumbuhkan mafia anggaran di tingkat lokal.
Dari Artikel Ini Menuju Kasus Hukum
Saya tak menulis ini untuk meminta penghentian bantuan. Saya menulis ini karena bantuan harus diselamatkan.
Tapi penyelamatan tidak cukup dengan klarifikasi atau surat bantahan dari para pemburu proyek.
Harus ada keberanian hukum, pembongkaran jaringan rente, dan pengawalan bersama dari jurnalis, masyarakat sipil, akademisi, dan tentu saja, Aparat Penegak Hukum.
Karena kalau tidak, Kabupaten Sumenep akan menjadi simbol nasional dari kegagalan menjaga APBN di level lokal, tempat Ketua Banggar tinggal, tapi rakyatnya tetap miskin karena uangnya habis ditilep elite yang dia diamkan. (*)
_______
DISCLAIMER: Seluruh isi tulisan di atas merupakan tanggung jawab penulis.