Oleh: Ridwan Lanya, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia, Unira
———–
STEREOTIP terhadap suatu kelompok masyarakat sering kali lahir dari prasangka dan generalisasi yang tidak berdasar. Hal serupa terjadi pada orang Madura, yang kerap kali diasumsikan sebagai “jamet”, miskin, kasar, atau identik dengan carok.
Sebagai orang Madura, saya merasa stigma semacam ini sangat tidak adil dan tidak merepresentasikan keragaman budaya serta nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Madura.
Stereotip semacam ini kemungkinan besar muncul karena pengaruh media atau pengalaman individu yang terbatas terhadap orang Madura.
Media, misalnya, sering kali menyoroti kasus-kasus carok atau konflik di Madura, sehingga membentuk asumsi bahwa orang Madura cenderung kasar dan temperamental.
Selain itu, pandangan bahwa orang Madura hanya bekerja sebagai penjual sate atau berprofesi sederhana sering kali melahirkan kesan bahwa mereka adalah kelompok yang kurang maju atau miskin.
Sebagai seseorang yang berasal dari Madura, saya sering menghadapi perlakuan berbeda ketika menyebutkan asal-usul saya. Tidak jarang orang langsung berasumsi bahwa saya kurang berpendidikan atau menyampaikan olok-olokan seperti “minta satenya”.
Hal ini bukan hanya pengalaman pribadi saya, tetapi juga dialami oleh beberapa teman saya yang juga berasal dari Madura. Mereka sering mendapatkan perlakuan serupa ketika orang luar bertanya tentang asal-usul mereka, di mana stereotip langsung mengemuka dalam percakapan.
Padahal, meskipun ada beberapa kasus atau perilaku yang mungkin memperkuat stereotip tersebut, tidak sepatutnya seseorang berasumsi demikian secara umum.
Menurut Dr. Dwi Putra, seorang sosiolog dari Universitas Indonesia, stereotip terhadap kelompok etnis sering kali merupakan hasil konstruksi sosial yang tidak memiliki landasan faktual yang memadai.
Ia menegaskan bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki sisi positif dan negatif, tetapi stereotip muncul akibat penekanan pada sisi negatif serta kurangnya pemahaman terhadap aspek positif kelompok tersebut.
Prof. Syafrudin Nasir, seorang antropolog budaya menyebutkan, yang menekankan bahwa stereotip cenderung memperkuat prasangka dan mendorong diskriminasi antar-etnis.
Sebagai masyarakat modern, kita harus lebih bijak dalam melihat keanekaragaman etnis di Indonesia. Stigma semacam ini hanya akan menghambat persatuan dan memperkuat bias yang tidak perlu.
Penting bagi kita untuk mengenal lebih dekat budaya Madura tanpa terjebak dalam stereotip yang menyesatkan. Orang Madura tidak dapat disamaratakan sebagai “jamet”, miskin, atau kasar.
Sebaliknya, mereka adalah bagian integral dari keberagaman bangsa ini dengan kekayaan budaya dan potensi yang layak dihormati.
Oleh karena itu, mari bersama-sama mengubah pola pikir dan lebih menghargai individu berdasarkan kualitas serta kontribusinya, bukan berdasarkan asumsi yang keliru. (*)