Rofiatul Windariana, Aktivis Perempuan dan Founder Siniar.co, aktif di Komunitas Simposium dan FLP Cabang Pamekasan
———–
MEMBICARAKAN kasus kekerasan terhadap perempuan belakangan ini barangkali bukan sesuatu yang mengagetkan, atau tidak asing di telinga kita. Lahirnya tulisan ini juga bukan dengan bangga menganggap hal itu sebagai sebuah prestasi yang gemilang. Melainkan karena penulis, barangkali pembaca, merasakan kegelisahan yang sama.
Tepatnya, kami hampir muak dengan fenomena yang terjadi dimana perempuan menjadi korban kekerasan bahkan hingga harus meregang nyawa.
Belum selesai kita dikagetkan dengan beberapa kasus kekerasan sepanjang September lalu yang berujung korban meninggal dunia. Di antaranya, Kasus kekerasan di Padang Pariaman yang menewaskan perempuan penjual gorengan.
Ada Juga kasus pemerkosaan dan pembunuhan siswi di Palembang oleh 4 anak di bawah umur. Kemudian, dua kasus terbaru di awal oktober, bahkan tidak sampai satu minggu, di daerah yang dekat dengan kita, bahkan mungkin tetangga kita meninggal di tangan suaminya sendiri. Naas, miris tapi itu nyata terjadi.
Sebut saja, Nihayatus Sa’adah, seorang perempuan berusia 27 tahun asal Desa Jenangger, Batang-batang, Sumenep, dinyatakan meninggal pada 05 Oktober lalu. Ia mengalami kekerasan hingga meninggal di rumah sakit oleh suaminya sendiri, Arfan Rofiqi. Hal yang memuakkan adalah motif kekerasan yang dilakukan suami karena korban menolak berhubungan badan.
Perlu juga digarisbawahi bahwa korban memiliki anak yang baru berusia 8 bulan dan sedang dalam masa menyusui yang secara biologis mengalami penurunan hormon estrogen sehingga juga menurunkan gairah seksual.
Tidak hanya berhenti di Nihayatus, atau yang akrab disapa Nining. Sri Wahyuni harus mengalami nasib serupa, yakni meninggal di tangan suami sendiri. Kejadian ini berlangsung 4 hari setelah kematian Nining, yakni pada 09 Oktober lalu.
Penganiayaan berat yang dialami Sri Wahyuni, asal Desa Gadding, Kecamatan Manding, Sumenep itu menggunakan senjata tajam sehingga mengakibatkan 4 jari-jarinya putus dan luka parah dibagian perut. Sementara menurut hasil penyidikan motifnya karena cemburu atau dendam.
Sengaja saya paparkan ulang dua kasus ini untuk membuka mata kita dan kesadaran kita bahwa fenomena kekerasan terhadap perempuan terjadi di sekitar kita, dan perempuan lain bukan tidak mungkin juga rentan mengalami kekerasan serupa.
Dua fenomena di atas barangkali hanya secuil kasus yang menimpa perempuan dari bongkahan es kasus kekerasan lainya yang belum terungkap. Mirisnya kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di ruang-ruang yang seharusnya menjadi ruang aman, yakni keluarga sendiri.
Siapa yang Berhak atas Nyawa Perempuan?
Maraknya segala bentuk kekerasan, baik kekerasan seksual yang terjadi di ruang public atau kekerasan yang berlindung di balik institusi pernikahan menggugah pikiran saya tentang siapa sejatinya yang berhak atas nyawa perempuan?
Pertanyaan ini barangkali tidak perlu dijawab karena kita tahu jawabannya adalah Tuhan. Justru karena itu, seyogyanya kita tahu bahwa perempuan memiliki hak hidup dan hak atas tubuhnya sendiri, perempuan memegang kendali atas hidupnya sendiri. Meskipun perempuan, ketika ia menikah, ia menjadi tanggung jawab suami. Bukan berarti, suami berhak atas hidup dan matinya, atau berhak atas nyawanya.
Benar, bahwa anak perempuan ketika belum menikah ia menjadi tanggung jawab bapaknya, lalu ketika menikah ia menjadi tanggung jawab suaminya. Tetapi menjadi pemahaman yang keliru, ketika menganggap bahwa perempuan tidak punya kendali apapun atas diri dan hidupnya.
Hingga ia buru-buru dinikahkan orang tuanya agar mereka segera lepas tanggung jawab dan terlepas dari ketakutan ‘punya anak yang tidak laku-laku’. Naasnya, ia dinikahkan dengan laki-laki yang juga menganggap bahwa istri, seluruhnya, berada dibawah kendali suami, yang menganggapnya hanya objek seksual semata.
Tidak hanya itu, ia hidup dalam lingkungan yang menganggap hal itu sebagal sesuatu yang lumrah. Perempuan dianggap memang sepatutnya menjadi biang keladi atas segala kesalahan laki-laki. Ketika laki-laki selingkuh, dianggap karena perempuan tidak mampu merawat diri. Ketika perempuan mengalami kekerasan, dianggap barangkali perempuannya yang bikin salah atau terlalu cerewet. Adapun ketika ia mau mengadu, dianggap mengumbar aib suami.
Lalu, di mana letak kebebasan perempuan atas tubuhnya? Kesalahan macam apa hingga perempuan harus menebus dengan nyawanya? Ini bukan zaman jahiliyah, tapi agaknya hanya berubah kemasan lebih modern..
Kemudian ketika perempuan mati di tangan suaminya, baru kita menyadari bahwa kita sudah terlambat menolongnya, ia telah mati direnggut budaya patriarkhi.
Barangkali narasi ini dianggap berlebihan, bahwa di daerah lain tidak demikian. Perempuan di daerah lain merasakan kebebasan dan mencicipi kesetaraan. Justru itu, kebebasan seharusnya dirasakan semua perempuan sehingga kita tidak lagi melihat harus ada perempuan lain yang mati untuk menganggap bahwa hal ini merupakan hal yang serius.
Dari Ketimpangan Relasi Kuasa Hingga Normalisasi Kekerasan
Relasi kuasa merupakan hubungan yang terbentuk dari berbagai pola relasi individu dengan individu lain, atau individu dengan kelompok, atau sebaliknya. Relasi kuasa dalam kekerasan seksual lahir dari dominasi kekuasaan pelaku dan ketidakberdayaan korban. Kekuasaan lahir dipengaruhi sistem sosial dan dilanggengkan melalui pengetahuan atau pemahaman masyarakat.
Dominasi pelaku dalam beberapa kasus kekerasan seksual didukung oleh kekuasaan yang dimilikinya, sehingga kita bisa melihat bagaimana kasus kekerasan seksual guru terhadap muridnya, orangtua terhadap anaknya, paman kepada keponakan, atau atasan pada bawahannya. Mayoritas dilakukan karena pelaku memiliki kekuasaan sehingga mampu mendominasi, memanipulasi hingga mengancam korban yang tidak berdaya.
Dalam institusi pernikahan, relasi kuasa yang dibangun idealnya adalah relasi subjek dengan subjek, bukan relasi atasan dan bawahan. Karena suami maupun istri sama-sama menjadi subjek dalam institusi yang disebut keluarga, oleh karena demikian keduanya memiliki hak untuk menentukan bagaimana rumah tangga akan dijalankan. Kasus-kasus kekerasan yang terjadi jusru sebaliknya, suami menganggap bahwa dirinya memegang kuasa penuh atas istrinya, sehingga tidak jarang suami melakukan kekerasan fisik dan verbal.
Glorifikasi kekuasaan suami dalam rumah tangga dipengaruhi oleh banyak faktor. Mulai dari stigma sosial hingga sistem sosial yang tidak sensitif gender atau patriarki. Laki-laki dianggap sebagai pemimpin keluarga yang punya kuasa penuh, sehingga laki-laki atau suami dianggap wajar memarahi, membentak hingga memukul istri. Hal itu justru dinormalisasi oleh masyarakat karena dianggap urusan domestic. Padahal kekerasan adalah kriminalitas baik di dalam maupun di luar institusi pernikahan.
Lingkaran Setan Kekerasan Terhadap Perempuan: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Saya menyebutnya lingkaran setan, karena ia satu dengan lainnya berkaitan erat dalam melahirkan dan melanggengkan kasus kekerasan terhadap perempuan. Lingkaran setan kekerasan terhadap perempuan ini setidaknya melibatkan atau justru muncul dari empat pihak.
Pertama, institusi keluarga. Pemahaman orangtua yang barangkali masih awam menjadi hulu atau awal bagaimana nasib anak perempuan ditentukan.
Pola asuh yang tidak adil antara anak laki-laki dan perempuan, kekerasan yang dilakukan didepan anak bahkan hingga anak yang menjadi korban kekerasan menjadi boomerang bagi masa depan anak. Terganggunya psikologis anak akan mempengaruhi bagaimana ia tumbuh dan berkembang.
Anak yang lahir dalam keluarga yang demikian, tidak jarang justru akan mempengaruhi perilaku anak, sehingga mereka rentan menjadi pelaku atau korban kekerasan. Hal itu dikarenakan, ia menormalisasi apa yang ia lihat dalam lingkungan terkecilnya yang dicontohkan oleh ayah ibunya yang juga dulu terjebak dalam pernikahan dini dan juga diajarkan demikian.
Kedua, Sistem sosial dan masyarakat. Sistem sosial memberikan sumbangsih besar bagi lenggengnya budaya patriarki dan normalisasi kekerasan laki-laki atas perempuan. Memang susah merubah mindset masyarakat yang sudah alot dengan stigma sosial, karena generasi orang tua kita yang kebanyakan generasi baby boomers dibentuk oleh budaya dan sistem sosial di masa lalu yang belum mengenal kesetaraan. Oleh karenanya, elemen masyarakat seperti anak muda dan tokoh masyarakat seyogyanya mampu menjadi kontrol sosial dan aktor dalam membentuk lingkungan yang ramah terhadap perempuan.
Ketiga, pemerintah. Ketakutan korban kekerasan untuk melapor dikarenakan ia tidak memiliki ruang aman yang suportif. Di sisi lain, penanganan kasus oleh pihak berwajib dan kebijakan yang pro terhadap korban menjadi faktor utama bagaimana lingkaran setan ini mampu diputus. Pemberian hukuman yang setimpal dan perlindungan terhadap korban menjadi perhatian utama agar lingkaran setan ini mampu diputus.
Keempat, institusi sosial dan pendidikan. Pendidikan seksual pada tingkatan tertentu perlu diajarkan kepada anak agar mampu mencegah indikasi kekerasan seksual di masa depan, serta pendidikan yang sensitif gender juga perlu diterapkan agar tidak melahirkan generasi yang melanggengkan patriarki. Di sisi lain, pendidikan pranikah perlu menjadi prioritas agar suami dan istri mampu memahami relasi dalam rumah tangga yang setara dan harmonis.
Lingkaran setan ini mampu diputus apabila semua elemen dapat bekerja sama dalam melahirkan lingkungan yang ramah gender dan tidak menormalisasi kekerasan, karena kekerasan apapun bentuknya tidak berhak dan tidak pantas diterima dan dilakukan oleh siapapun. (*)