Oleh: M. Rozien Abqoriy
————-
Catatan kali ini saya ingin menuangkan segala uneg-uneg, wabil khusus tentang cinta.
CINTA bukan pada tempatnya merupakan judul yang saya angkat karena berangkat dari realitas sosial yang ada, dan yang menurut saya sudah terlampau jauh dari apa yang diharapkan.
Kita coba melihat kembali latar belakang dari adanya judul tersebut. Cinta bukan pada tempatnya ini bagi saya menjadi racun, terkhusus juga kepada semua pemuda maupun mahasiswa.
Racun yang berdampak kedalam berbagai aspek, contohnya saat menjalani kehidupan bersosial bahkan kehidupan berpendidikan.
Kenapa demikian? karena cinta kita tau mestinya memiliki makna yang sarat akan kepedulian, melahirkan kebijakasanaan, dan tidak memikirkan kepada kebaikan diri sendiri saja, melainkan juga kepada kedua belah pihak ataupun secara kolektif/kebersamaan.
Seperti apa yang dikatakan oleh Erich From salah satu Psikoanalisis atau filsuf berkebangsaan Jerman. Dalam bukunya The Art of Loving, Fromm menjelaskan bahwa cinta adalah seni yang memerlukan pengorbanan, disiplin, dan tanggung jawab.
Cinta sejati adalah aktivitas, bukan perasaan pasif, yang bisa melibatkan perhatian, penghargaan, dan pemahaman terhadap orang lain.
Menurutnya, cinta adalah tindakan kehendak yang menyatakan komitmen dan perhatian terhadap pertumbuhan orang lain. Artinya disini bisa kita kaitkan kepada satu lawan jenis saja atau kepada kelompok bahkan mungkin juga kepada sosial kita.
Namun, per-hari ini bisa kita lihat kondisi sosial. Pemuda yang mengatasnamakan cinta dalam berkehidupan sosial, berorganisasi, bermasyarakat, sudah tidak lagi menyematkan kepada kebaikan bersama. Akhirnya juga dapat berdampak kepada lingkungannya dan teman-temelan dekatnya.
Persis seperti apa yang dikatakan oleh bapak psikoanalisis Freud, bahwa ketika cinta berubah menjadi obsesif, ia tidak lagi membangun tetapi merusak.
Karena baginya, cinta yang tidak pada tempatnya sering kali dapat menjadi manifestasi dari keinginan bawah sadar yang tidak terkendali. Dan, hal ini dapat berujung pada obsesi atau perilaku menghancurkan (destruktif) kepada segala aspek, entah kepada sosialnya, pendidikannya, organisasinya, bahkan cara beragamanya.
Mudah melupakan sesuatu yang prioritas, karena telah dikendalikan oleh ego maupun nafsunya sendiri. Sehingga kebaikan-kebaikan yang perlu dilakukan di sekitarnya terhempas jauh dalam pandangan dan ingatan.
Kalau kita tarik lagi kepada pemuda yang saat ini sedang menempuh pendidikan, sekilas kita tau, mestinya cintanya pada saat menjalani kehidupan berpendidikan adalah kepada hal-hal yang berkaitan dengan sesuatu yang bisa menopang didalam berpendidikannya.
Contohnya, seperti membaca buku, berdiskusi maupun berorganisasi (berserikat). Praktek tersebut merupakan bentuk cintanya terhadap diri sendiri maupun kepada sosialnya. Karena hal itu juga memiliki dampak positif yang cukup berpengaruh terhadap segala aspek yang ada.
Tidak mudah melupakan komitmennya didalamnya berpendidikan, tidak mudah menciptakan sekat terhadap teman-teman dekatnya. Dan, tidak mudah menciptakan perpecahan juga tentunya, karena dasar cintanya diawal dalam memasuki pendidikannya sudah tepat.
Ketika dia menjalin hubungan dengan satu orang, dia tidak mudah melupakan kepentingan yang lain untuk tetap mengutamakan nilai agama dan nilai sosialnya.
Ketika menjalin proses melalui organisasi, dia juga tidak akan mudah melupakan komitmennya untuk senantiasa belajar dan mengedepankan solidaritas dalam menebar ke bermanfaatannya.
Di akhir catatan kali ini mari terus saling merangkul dan saling mengingatkan, bahwa jangan sampai kita mengambil alih fungsi cinta tersebut kepada yang tidak seharusnya. Karena cinta itu saling menyembuhkan dan tidak melupakan kepada kebaikan bersama, justru juga kepada kebaikan diri sendiri. (*)
*Penulis asli Kabupaten Sumenep yang berdomisili di Kabupaten Pamekasan. Penulis Aktif dalam bidang sosial, politik, demokrasi dan mahasiswa.