MADURA || KLIKMADURA – Di ufuk utara Pulau Madura, ketika matahari terbit perlahan di atas laut Jawa, siluet anjungan baja berdiri tegak di antara ombak. Di sanalah denyut energi negeri ini terus berdetak di tengah hempasan angin asin dan riuh mesin yang tak pernah benar-benar berhenti.
Namanya Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore, atau PHE WMO. Dari sana, ribuan barel minyak mentah diangkat setiap hari, mengalir melalui pipa menuju daratan, lalu menjadi bagian dari napas ekonomi Indonesia.
Lapangan minyak lepas pantai itu masih menjadi penjaga pasokan energi nasional. Data resmi Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM mencatat, pada semester pertama tahun 2024, PHE WMO memproduksi 29,37 ribu barel per hari. Angka itu bukan sekadar statistik. Itu simbol ketahanan.
Lapangan migas di laut utara Madura ini telah menjadi saksi keteguhan Indonesia menjaga kedaulatan energi. Ia bertahan di tengah naik turunnya harga minyak dunia, di tengah tekanan global yang kian mengguncang industri migas.
Setiap tetes minyak yang dihasilkan dari laut Madura berarti lebih sedikit ketergantungan pada impor. Setiap barel yang diangkat dari perut bumi sendiri berarti satu langkah kecil menuju cita-cita besar. Yakni, swasembada energi nasional.
Benteng Energi di Tengah Perubahan Zaman
Sejak awal beroperasi, WMO bukan hanya lapangan minyak. Ia adalah penjaga garda depan energi dalam negeri. Blok ini termasuk dalam tulang punggung ketahanan energi nasional.
Produksinya yang stabil mendukung kilang-kilang domestik agar tetap beroperasi, membantu menekan defisit neraca migas yang selama ini menjadi luka lama perekonomian Indonesia.
Di balik setiap operasi di laut lepas, ada prinsip besar yang dijaga. Yakni, ketersediaan, keterjangkauan, dan keberlanjutan.
Produksi harus tersedia dalam jumlah cukup, harga energi harus tetap terjangkau, dan semua harus berlangsung dengan cara yang berkelanjutan. Di situlah peran PHE WMO menemukan maknanya.
Meskipun lapangan ini sudah tergolong matang, inovasi terus dilakukan. Teknologi baru diterapkan untuk menahan laju penurunan produksi.
Nafas Ekonomi Madura
Di daratan Madura, suara mesin anjungan yang samar-samar terdengar dari kejauhan membawa dampak nyata bagi kehidupan ribuan keluarga. Aktivitas migas membuka lapangan kerja bagi warga pesisir. Para pekerja lokal menjadi bagian dari rantai pasok, mulai dari operator kapal hingga penyedia bahan makanan untuk awak rig.
Ekonomi di sekitar wilayah operasi pun berputar lebih cepat. UMKM yang semula bergerak kecil kini mendapat pesanan dari industri besar. Vendor lokal yang dulu ragu bersaing kini menjadi bagian penting dari ekosistem industri energi.
Di Sampang, ada kisah ibu-ibu pesisir yang kini memiliki usaha olahan hasil laut karena program pemberdayaan dari PHE WMO. Di Bangkalan, anak-anak sekolah mengikuti kegiatan Pertamina Mengajar, mendengarkan cerita tentang energi dan masa depan yang berkelanjutan dari para insinyur muda.
Program tanggung jawab sosial perusahaan bukan sekadar formalitas. Tetapi, menjadi denyut empati yang mengalir ke pelosok desa. Desa Energi Berdikari dan Kemitraan UMKM Madura menjadi simbol bagaimana industri besar dapat menyalakan semangat kecil di hati masyarakat.
Dampaknya tak berhenti di situ. Produksi dari WMO juga memberikan kontribusi fiskal melalui Dana Bagi Hasil Migas. Uang dari laut itu kembali ke daratan, membiayai pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas publik di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Sampang.
Menurut kajian Bappenas tahun 2023, setiap satu rupiah investasi di sektor hulu migas mampu menciptakan efek ekonomi hingga dua kali lipat di sektor lain. Maka, setiap pompa minyak yang berdenyut di laut Madura sesungguhnya juga menggerakkan mesin pembangunan di darat.
Merawat Alam, Menjaga Keseimbangan
PHE WMO tidak menutup mata terhadap tantangan lingkungan. Laut yang memberi rezeki harus dijaga agar tetap lestari. Di sejumlah pesisir Bangkalan dan Sampang, PHE WMO menanam ribuan pohon mangrove. Akar-akar itu bukan hanya menahan abrasi, tetapi juga menjadi rumah bagi ikan, kepiting, dan ekosistem laut lainnya.
Masyarakat nelayan dilibatkan dalam berbagai pelatihan agar tetap produktif di tengah aktivitas industri migas. Mereka tidak lagi hanya menjadi penonton, melainkan mitra dalam menjaga keberlanjutan sumber daya.
Energi baru dan terbarukan juga mulai diperkenalkan di desa-desa sekitar, seperti biogas dan panel surya. Sebuah langkah kecil dalam perjalanan panjang menuju transisi energi hijau.
“Alhamdulillah kami bisa membuktikan bahwa industri migas dan lingkungan bisa berdampingan,” kata Muhammad Sahril, pengelola Wisata Mangrove Labuhan yang menjadi binaan PHE WMO.
“Karena bagi kami, energi sejati bukan hanya soal bahan bakar, tetapi juga tentang kehidupan yang terus tumbuh di sekitarnya,” tambah Sahril.
Menyalakan Harapan di Tengah Ombak
Kini, ketika malam turun di laut utara Madura, lampu-lampu anjungan PHE WMO kembali menyala. Dari kejauhan, cahayanya tampak seperti gugusan bintang yang jatuh ke laut. Di balik kilau itu, ada kisah kerja keras, pengabdian, dan harapan yang tak pernah padam.
Penurunan produksi mungkin tak bisa dihindari. Tapi makna PHE WMO jauh melampaui angka. Ia adalah simbol dari daya tahan manusia menghadapi waktu. Ia menunjukkan bahwa di tengah lapangan tua sekalipun, kehidupan baru bisa terus tumbuh.
Bagi masyarakat Madura, blok minyak itu bukan hanya tentang industri. Ia adalah denyut ekonomi, sumber pengetahuan, dan lambang harapan bahwa tanah kelahiran mereka tak hanya dikenal karena garam dan karapan sapi, tetapi juga karena kontribusinya bagi energi bangsa.
Dan bagi Indonesia, PHE West Madura Offshore adalah api kecil yang terus menyala di antara ombak, api yang mengingatkan kita bahwa kemandirian energi bukan sekadar mimpi, tetapi perjalanan panjang yang harus dijaga dengan keberanian, inovasi, dan hati yang tulus. (nda)