Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.
—–
ADA kabar yang cukup mengejutkan bagi saya. Katanya, Madura menyimpan uranium. Sebuah klaim yang menggelitik sekaligus mengguncang imajinasi publik tentang pulau yang selama ini identik dengan garam, tembakau, dan perikanan.
Namun benarkah Madura memiliki uranium dalam arti geologis? Ataukah isu ini hanya lahir dari salah tafsir terhadap hasil riset ilmiah?
Sebuah penelitian penting yang diterbitkan dalam Jurnal Kesehatan Lingkungan pada Juli 2021 oleh tim peneliti dari BATAN (kini BRIN) memberikan pijakan ilmiah yang menarik.
Studi berjudul “The Natural Radionuclide Activity and the Risk of Potential Radiation in Health Effect: A Study on Beach Sand in Madura, Bali, and Lombok” meneliti kadar radionuklida alami pada pasir pantai di tiga pulau tersebut.
Hasilnya, Madura justru mencatat angka aktivitas radionuklida tertinggi dibanding Bali dan Lombok.
Data menunjukkan bahwa kadar rata-rata ²²⁶Ra di pasir pantai Madura mencapai 31,46 Bq/kg, ²³²Th sebesar 40,12 Bq/kg, dan ⁴⁰K mencapai 334,04 Bq/kg.
Nilai-nilai ini lebih tinggi dibanding Bali dan Lombok yang hanya berkisar antara 7 hingga 25 Bq/kg untuk unsur sejenis.
Bahkan, indeks gamma yang digunakan untuk menilai risiko paparan radiasi, mencapai angka 1,02 di beberapa titik pantai Madura.
Angka ini melewati ambang batas aman internasional (0,5) yang direkomendasikan oleh United Nations Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation (UNSCEAR).
Namun perlu digarisbawahi, hasil tersebut tidak otomatis menandakan keberadaan cadangan bijih uranium. Nilai radionuklida yang terdeteksi berasal dari unsur radioaktif alami di pasir pantai, bukan dari endapan mineral uranium yang layak tambang.
Peneliti menegaskan bahwa aktivitas radiasi di Madura masih berada di bawah batas bahaya umum, meskipun ada indikasi paparan gamma sedikit di atas ambang aman untuk penggunaan pasir sebagai bahan bangunan.
Dengan kata lain, Madura memang memiliki jejak radionuklida alami yang lebih tinggi dibanding beberapa wilayah lain, tetapi itu belum berarti pulau ini menyimpan uranium secara ekonomis.
Unsur radioaktif tersebut bisa berasal dari mineral berat yang terbawa arus laut, dari aktivitas geokimia alami, atau bahkan dari pelapukan batuan yang mengandung thorium dan kalium.
Di sinilah pentingnya membedakan antara “radiasi alami” dan “tambang uranium”. Radiasi alami adalah fenomena geologis yang terdapat di hampir seluruh permukaan bumi.
Sementara, cadangan uranium memerlukan pembuktian geologi melalui eksplorasi mendalam, pengeboran, dan analisis konsentrasi mineral di bawah permukaan tanah. Penelitian BATAN itu tidak menemukan bukti semacam itu. Namun hasil riset tersebut tetap penting untuk Madura.
Pertama, karena memberi sinyal bahwa ada aktivitas radionuklida yang relatif tinggi di wilayah pantai, yang perlu dimonitor agar tidak berdampak pada kesehatan masyarakat, terutama jika pasir pantai digunakan sebagai bahan bangunan.
Kedua, karena menunjukkan betapa pentingnya pendekatan ilmiah dalam membaca fenomena geologi lokal agar tidak terjebak pada euforia atau mitos tambang yang menyesatkan.
Madura, dengan karakter geomorfologinya yang unik dan garis pantainya yang panjang, memang menyimpan banyak misteri geologi yang belum sepenuhnya terungkap. Tetapi sains mengajarkan kita untuk berhati-hati.
Riset ini justru memperlihatkan kedewasaan ilmiah. Yakni, ketika peneliti tidak terburu-buru menyimpulkan, melainkan mengundang eksplorasi lanjutan dengan metode yang lebih spesifik.
Mungkin tidak ada uranium dalam kadar ekonomis di Madura. Namun ada hal lain yang lebih berharga, yaitu kesadaran akan pentingnya penelitian ilmiah yang berbasis data dan metodologi.
Kesadaran bahwa tanah garam ini bukan sekadar ruang spekulasi, melainkan ruang pengetahuan yang terus menunggu untuk digali dengan kejujuran ilmiah.
Madura tidak perlu uranium untuk bersinar. Yang dibutuhkan adalah riset yang berkelanjutan, pendidikan lingkungan yang kuat, dan keberanian membaca potensi tanah sendiri dengan akal sehat, bukan dengan sensasi.
Dari pasir-pasir pantainya yang berkilau itu, ilmu pengetahuan memberi pesan yang lembut tetapi dalam.
Kekayaan sejati bukanlah yang tersembunyi di perut bumi, melainkan yang tumbuh dari nalar dan rasa ingin tahu warganya. Maaf. (*)














