Cyber-Utopianisme dan Realitas Generasi Muda

- Jurnalis

Senin, 28 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Moh Efendi, Peneliti ACCESS, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UGM.

——

KEYAKINAN bahwa media sosial akan mempererat hubungan antara pemimpin dan publik, telah lama menjadi bagian dari wacana optimisme digital.

Dalam pandangan ini, media sosial dianggap mampu menciptakan transparansi, mendorong interaksi dua arah, dan menjadi alat demokratisasi baru. Maka tak heran jika banyak kepala daerah menjadikan platform digital sebagai medium utama komunikasi publik.

Namun, harapan itu tampaknya terlalu utopis. Hasil survei ACCESS (2025) terhadap generasi muda (usia 17–30 tahun) di empat kabupaten di Madura—Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep, menunjukkan bahwa tingkat ketidakpuasan terhadap kinerja Bupati dan Wakil Bupati pasca 100 hari kerja tergolong relatif tinggi, yakni Bangkalan 41,5%, Sampang 32,7%, Pamekasan 37,9%, dan Sumenep 34,4%.

Kehadiran media sosial tidak serta-merta membangun legitimasi politik. Di tengah masifnya aktivitas digital para kepala daerah, generasi muda justru kesulitan menyebutkan program prioritas atau capaian konkret pemerintahan mereka.

Situasi ini tak lepas dari penggunaan media sosial hanya sekedar alat pencitraan dan marketing gimmick semata. Dalam bayangan yang utopis, aktivitas digital dianggap setara dengan transparansi dan akuntabilitas.

Baca juga :  Aktualisasi Peranan Perempuan Masa Kini

Namun, komunikasi digital sering kali bersifat satu arah dan hanya menampilkan narasi visual, kurang membuka ruang keterlibatan publik. Padahal, generasi muda adalah pengguna aktif media sosial.

Laporan ACCESS (2025) menyebut aspek pendidikan, kesehatan, infrastruktur jalan, dan pemerataan pembangunan dijadikan persoalan paling kronis untuk diselesaikan. Namun demikian, platform digital yang semestinya menjadi kanal penghubung justru gagal memenuhi fungsinya.

Ironisnya, data survei dan konten aspirasi generasi muda sering kali masih dipandang sia-sia oleh sebagian pihak, karena dianggap tidak akan berpengaruh signifikan pada perubahan. Di saat yang sama, publik bingung harus bersuara pada siapa dan lewat saluran apa.

Coba perhatikan komentar akun media sosial para kepala daerah, isinya dipenuhi keluh kesah atas kebutuhan mendasar.

Sejumlah pertanyaan pun muncul: sudahkah pemerintah peduli? apakah ada mekanisme yang menampung keresehan itu lalu dijadikan prioritas untuk segera diselesaikan? Saya pun tidak tahu.

Saya masih percaya, mereka dapat menugaskan orang-orang kompeten pada pekerjaan itu. Sehingga, keresehan di ruang digital bisa diterjemahkan dengan program yang kongkrit dan solutif.

Ruang digital memang penuh pencitraan. Pemberitaan tentang kinerja kepala daerah sering kali memunculkan kontradiksi naratif: satu pihak menyoroti keberhasilan, sementara lainnya menampilkan kritik atas keresahan publik.

Baca juga :  Raperda Pesantren Pamekasan: Langkah Strategis Penguatan Pendidikan Islam

Di sinilah pentingnya kehadiran aktor watchdog—termasuk lembaga riset atau survei, jurnalis independen, dan masyarakat sipil untuk memastikan bahwa informasi publik tidak didominasi oleh narasi tunggal yang disusun secara sepihak.

Parahnya, media sosial dinggap mampu menggeser data yang berbasis riset dan survei. Siapa yang paling viral, kerap diasumsikan sebagai figur yang mendapat dukungan publik.

Generasi muda tampaknya tidak ingin mengabaikan sisi gelap dan manipulasi kekuasaan. Mereka semakin peka terhadap narasi dan konten media sosial para kepala daerah, bahwa visual yang ditampilkan tidak selalu mencerminkan solusi konkrit pada persoalan mendasar.

Persoalannya bukan pada pencitraan, melainkan ketidakpaduan antara narasi dan kinerja kongkrit di lapangan. Disinilah, buzzer, akun bot, dan disinformasi justru memungkinkan untuk meracuni diskusi publik.

Jebakan cyber-utopianisme menggambarkan keyakinan naif bahwa kehadiran teknologi seolah-olah sudah cukup untuk memperbaiki kualitas demokrasi dan interaksi antara warga dan pemerintah.

Padahal, ada problem sistematik karena dilakukan tanpa strategi partisipatif. Itu justru menjauhkan pemerintah dari akar masalah yang dihadapi publik.

Baca juga :  Dua Tahun Penuh Cinta

Zeynep Tufekci (2018) menekankan bahwa platform digital bukanlah ruang netral atau otomatis demokratis. Teknologi dirancang untuk mengejar keterlibatan, bukan akuntabilitas.

Oleh sebab itu, penggunaan teknologi harus selalu disertai dengan refleksi kritis dan kesadaran politik, terutama dalam tata kelola pemerintahan.

Kondisi ini memberikan refleksi penting bahwa jika kepala daerah membangun ruang partisipasi yang inklusif dan responsif, maka generasi muda tidak akan merasa asing terhadap arah pembangunan daerahnya sendiri. Karena, ketidakpuasan ini bisa berubah menjadi apatisme terhadap politik.

Langkah korektif perlu dilakukan segera. Pemerintah daerah harus mulai memanfaatkan ruang digital tidak semata-mata untuk membentuk citra (image centric), tetapi untuk membangun dialog.

Kanal pelaporan publik, forum aspirasi daring, hingga pelibatan pemuda dalam perencanaan dan evaluasi program bisa menjadi instrumen penting menuju pemerintahan yang lebih partisipatif.

Dalam dunia yang serba digital ini, jumlah like dan views tidak bisa menjadi tolok ukur legitimasi, dan viral tidak berarti berhasil. Yang dibutuhkan adalah komunikasi interaktif, keterbukaan atas data dan kebijakan, serta kesediaan untuk mendengarkan suara generasi muda. (*)

Berita Terkait

Ketika Penis Patung Lebih Berguna daripada Pena Wartawan
Saya Bukan Pejuang Kebenaran dan Keadilan. Toh Saya Masih Membela Orang Salah
Pilih: Rp 15 Juta Menjual Kejujuran? Atau Rp 100 Juta Hanya untuk Cari Data?
Kenaikan Harga Cukai Rokok Harus Ditinjau Ulang
RSUD Sumenep HONK?
Saat Ketua Banggar Tak Lagi Menakutkan
Ketika Dunia Tengah Porak-Poranda, Kita Di Mana?
Drama Migas di Ujung Madura

Berita Terkait

Rabu, 30 Juli 2025 - 22:51 WIB

Ketika Penis Patung Lebih Berguna daripada Pena Wartawan

Senin, 28 Juli 2025 - 08:35 WIB

Cyber-Utopianisme dan Realitas Generasi Muda

Minggu, 27 Juli 2025 - 22:46 WIB

Saya Bukan Pejuang Kebenaran dan Keadilan. Toh Saya Masih Membela Orang Salah

Minggu, 27 Juli 2025 - 13:24 WIB

Pilih: Rp 15 Juta Menjual Kejujuran? Atau Rp 100 Juta Hanya untuk Cari Data?

Kamis, 24 Juli 2025 - 02:53 WIB

Kenaikan Harga Cukai Rokok Harus Ditinjau Ulang

Berita Terbaru

Tersangka curanmor ditampilkan di hadapan awak media saat konfrensi pers di Mapolres Pamekasan. (MOH. IQBALUL KHAVEI MZ / KLIKMADURA)

Pamekasan

Melawan, Residivis Curanmor di Pamekasan Ditembak!

Jumat, 1 Agu 2025 - 12:24 WIB