SUMENEP || KLIKMADURA – Rencana eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi (migas) di wilayah Kangean, Kabupaten Sumenep, kembali menuai penolakan.
Kali ini datang dari Nurullah, alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya yang telah berpengalaman lebih dari lima belas tahun di industri migas nasional dan internasional.
Pria kelahiran Kangean itu menilai, proyek survei seismik dan pengeboran di wilayahnya berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang.
“Saya menolak bukan karena emosional, tapi karena pertimbangan ilmiah dan kemaslahatan masyarakat,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Klik Madura.
Nurullah mengungkapkan, PT Kangean Energi Indonesia (KEI) selaku operator Blok Kangean saat ini tengah bersiap melakukan survei seismik 3D.
Kontrak pengelolaan blok tersebut akan berakhir pada tahun 2030, dan survei ini menjadi syarat sebelum pengajuan perpanjangan kontrak.
Namun, menurut dia, kegiatan eksplorasi seharusnya diawali dengan sosialisasi terbuka dan keterlibatan masyarakat, sebagai bagian dari tata kelola migas yang transparan.
Dua dokumen penting yang wajib tersedia dan bisa diakses publik, yakni UKL-UPL dan AMDAL, hingga kini belum terbuka.
“Publik berhak tahu apakah izin lingkungan dan persetujuan warga terdampak benar-benar ada atau hanya formalitas di atas kertas,” tegasnya.
“Jika dokumen dan tanda tangan warga sepadan tidak bisa ditunjukkan, itu bisa jadi indikasi maladministrasi dan manipulasi perizinan,” tambahnya.
Lebih jauh, Nurullah menyoroti dampak ekologis dari kegiatan pengeboran migas yang kerap muncul lima hingga sepuluh tahun setelah produksi dimulai.
Dia mencontohkan tumpahan condensate, zona steril yang membatasi nelayan, hingga risiko geotektonik akibat pengeboran berulang.
“Di Pagerungan sudah ada 18 sumur aktif, dan akan terus bertambah. Kalau Kangean Barat juga dibor, wilayah kita bisa jadi target berikutnya,” katanya.
“Target produksi 200–300 MMCFD tak mungkin dicapai hanya dengan satu sumur. Artinya, bumi Kangean akan terus dibor tanpa waktu pulih,” tambahnya.
Menurutnya, selama ini manfaat bagi masyarakat lokal sangat minim, hanya berupa dana CSR dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang nilainya kecil dan tidak sebanding dengan risiko lingkungan.
“Proyek ini lebih menguntungkan korporasi dan investor. Jangan sampai Kangean hanya jadi ‘sapi perah’ bisnis yang mengorbankan masyarakat,” ujarnya.
Ia juga menyinggung dimensi historis eksploitasi sumber daya alam yang disebutnya mirip “penjajahan gaya baru”.
“Dulu bangsa Eropa datang mencari rempah, sekarang mereka datang atas nama investasi. Pasal 33 UUD 1945 selalu dijadikan tameng, tapi rakyat penghasil tetap miskin, infrastrukturnya tertinggal, dan alamnya rusak,” ungkapnya.
Sebagai solusi, Nurullah mendorong pemerintah untuk konsisten menjalankan kebijakan transisi energi bersih melalui pengembangan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) yang diatur oleh Kementerian ESDM.
“Penolakan terhadap pengeboran migas bukan berarti menolak pembangunan. Justru ini bentuk dukungan terhadap visi energi bersih dan berkeadilan yang dicanangkan pemerintah,” tandasnya.
Ia berharap ke depan, arah kebijakan energi Indonesia lebih berpihak pada keberlanjutan dan kemandirian energi tanpa mengorbankan ruang hidup masyarakat.
“Semoga Allah membimbing kita semua menuju kebijakan yang membawa maslahat bagi umat, bangsa, dan alam Kangean,” tutupnya. (nda)














