Perempuan dan Poligami: Perspektif, Realitas, dan Kontroversi di Era Modern

- Jurnalis

Jumat, 13 September 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Zakiatul Maulidiyah, Sekretaris Forum Lingkar Pena Cabang Pamekasan.

——–

POLIGAMI, atau praktik di mana seorang pria memiliki lebih dari satu istri, telah menjadi topik yang selalu memicu diskusi panas di berbagai kalangan, terutama di negara-negara dengan mayoritas Muslim seperti Indonesia.

Meski poligami diizinkan dalam ajaran agama Islam dengan syarat-syarat tertentu, topik ini tetap kontroversial, terutama ketika dikaitkan dengan isu kesetaraan gender, hak perempuan, dan dinamika keluarga modern.

Sejarah dan Akar Budaya Poligami

Poligami sudah dikenal dalam berbagai peradaban dan agama sejak zaman dahulu. Di Timur Tengah, Afrika, hingga beberapa bagian Asia, poligami sering kali dianggap sebagai simbol status sosial atau cara untuk memperluas keturunan.

Dalam konteks agama, terutama Islam, poligami diatur dalam Al-Qur’an, dengan syarat utama bahwa seorang suami harus adil kepada semua istrinya. Namun, implementasi konsep ini tidak selalu sesuai dengan idealisme yang diajarkan.

Islam memperbolehkan poligami dengan maksimal empat istri, namun dengan ketentuan bahwa seorang suami harus mampu berlaku adil dalam memberikan nafkah lahir dan batin.

Dalam Surah An-Nisa ayat 3, Allah SWT memperingatkan, jika seorang suami tidak mampu berlaku adil, maka dianjurkan hanya memiliki satu istri. Ini menunjukkan bahwa poligami bukanlah kewajiban, melainkan pilihan yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Baca juga :  Ketua DPC Gerindra Pamekasan Ajak Masyarakat Madura Tagih "Hutang" Prabowo

Perspektif Perempuan: Antara Pilihan dan Tekanan

Bagi sebagian perempuan, poligami dapat menjadi sesuatu yang dapat diterima dalam kondisi tertentu, seperti kebutuhan ekonomi, atau ketika ada alasan-alasan yang dianggap sah menurut agama.

Namun, tidak sedikit perempuan yang merasa bahwa poligami mengorbankan hak-hak mereka sebagai individu. Dalam banyak kasus, poligami dianggap sebagai bentuk subordinasi perempuan, di mana posisi mereka dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Menurut berbagai survei dan penelitian, banyak perempuan yang hidup dalam perkawinan poligami melaporkan perasaan cemburu, ketidakamanan, hingga kehilangan rasa percaya diri.

Dalam beberapa kasus, poligami bahkan menyebabkan keretakan keluarga, terutama ketika suami tidak mampu memenuhi tuntutan keadilan yang diatur agama.

Namun, ada juga perempuan yang justru mendukung praktik ini. Mereka beranggapan bahwa selama suami mampu bersikap adil, poligami bisa menjadi solusi untuk berbagai masalah sosial, seperti ketidaksetiaan atau keinginan untuk memiliki keturunan lebih banyak.

Di sisi lain, ada juga perempuan yang melihat poligami sebagai bentuk kepasrahan terhadap nasib, di mana mereka menerima poligami sebagai bagian dari tradisi atau ajaran agama yang tidak bisa ditolak.

Baca juga :  Refleksi Menjelang Pilkada: Menjaga Demokrasi dan Persatuan

Poligami di Era Modern: Benturan dengan Kesetaraan Gender

Di era modern ini, isu kesetaraan gender menjadi semakin relevan. Banyak aktivis perempuan yang menyuarakan bahwa poligami bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam pernikahan.

Mereka berpendapat bahwa dalam hubungan poligami, perempuan sering kali berada dalam posisi yang rentan secara emosional, sosial, dan ekonomi.

Dalam masyarakat yang semakin mendukung kebebasan individu dan hak asasi manusia, poligami dipandang oleh sebagian orang sebagai praktik yang tidak lagi relevan.

Mereka menilai bahwa praktik ini hanya memperkuat stereotip gender tradisional yang memposisikan perempuan sebagai objek, bukan subjek dalam pernikahan.

Sebaliknya, pernikahan monogami dipandang sebagai bentuk hubungan yang lebih setara, di mana kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Namun, di beberapa masyarakat, poligami tetap dipertahankan karena dianggap sebagai bagian dari warisan budaya dan agama. Dalam hal ini, muncul benturan antara nilai-nilai tradisional dan modern yang tidak mudah diselesaikan.

Meski demikian, ada juga upaya untuk mereformasi aturan poligami agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman, seperti pemberlakuan regulasi ketat untuk memastikan hak-hak perempuan tetap terlindungi.

Baca juga :  Libur Lebaran, Kapolres Pamekasan Minta Pengelola Wisata Perhatikan Keselamatan Pengunjung

Tantangan Hukum dan Sosial

Di Indonesia, poligami secara hukum diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Seorang suami yang ingin berpoligami harus mendapatkan izin dari istri pertama dan memiliki alasan yang sah, seperti ketidakmampuan istri untuk menjalankan kewajiban sebagai istri atau tidak memiliki keturunan.

Meski aturan ini cukup ketat, dalam praktiknya sering terjadi pelanggaran, terutama dengan adanya pernikahan siri yang tidak tercatat secara hukum.

Selain itu, poligami juga menimbulkan berbagai dampak sosial. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga poligami sering kali menghadapi dinamika yang rumit, terutama terkait dengan perhatian dan kasih sayang orang tua. Tidak jarang anak-anak dari keluarga poligami merasakan dampak psikologis seperti rasa kurang percaya diri atau perasaan ditinggalkan.

Poligami akan terus menjadi isu yang diperdebatkan, terutama di masyarakat yang sedang mengalami transisi nilai antara tradisi dan modernitas. Bagi sebagian orang, poligami adalah bagian dari keyakinan agama yang harus dihormati. Namun, bagi yang lain, praktik ini tidak lagi relevan dengan prinsip-prinsip kesetaraan dan hak asasi manusia. (*)

Berita Terkait

Perginya Jurnalis Bermazhab Masdawian
Menyoal Penolakan Milad Muhammadiyah di Sampang: Refleksi Seorang Putra Madura
Hari Bahasa Arab Internasional: Momentum Memperkuat Literasi Bahasa Arab, dari Tradisi ke Gerakan Sosial di PTKIN dan Pesantren
Keadilan Sosial untuk Semua Kelas
Gubernur Jawa Timur Bersekongkol dengan Para Bandit?
14 Tahun Partai NasDem, Arus Perubahan yang Tak Pernah Padam
Mengais Barokah, Menakar Pengabdian: Episentrum Kaderisasi NU dan Spirit Pengabdian Alumni Miftahul Ulum Bettet Pamekasan Di Kancah Nasional dan Global
Kegaduhan di Kangean Bukan Tanpa Sebab, PT KEI Harus Bertanggung Jawab!

Berita Terkait

Minggu, 21 Desember 2025 - 10:48 WIB

Perginya Jurnalis Bermazhab Masdawian

Jumat, 19 Desember 2025 - 06:20 WIB

Menyoal Penolakan Milad Muhammadiyah di Sampang: Refleksi Seorang Putra Madura

Rabu, 17 Desember 2025 - 04:00 WIB

Hari Bahasa Arab Internasional: Momentum Memperkuat Literasi Bahasa Arab, dari Tradisi ke Gerakan Sosial di PTKIN dan Pesantren

Sabtu, 6 Desember 2025 - 02:34 WIB

Keadilan Sosial untuk Semua Kelas

Minggu, 16 November 2025 - 03:46 WIB

Gubernur Jawa Timur Bersekongkol dengan Para Bandit?

Berita Terbaru

Opini

Perginya Jurnalis Bermazhab Masdawian

Minggu, 21 Des 2025 - 10:48 WIB

Catatan Pena

Kongres AJP: Habis Gaduh Terbitlah Teduh

Sabtu, 20 Des 2025 - 13:22 WIB