Oleh: Misbahul Munir Ali, SH,. MH,. Ketum AMB Foundation.
——-
ARI ini, bumi kembali memerah. Darah tumpah, rumah hancur, dan anak-anak kehilangan masa depan sebelum sempat bermimpi.
Iran dan Israel, Palestina dan Amerika, Ukraina dan Rusia, politik dan propaganda, berkelindan dalam panggung penuh kebisingan.
Sementara, manusia-manusia kecil di bawahnya—yang tidak pernah meminta perang—harus membayar semuanya dengan nyawa. Tapi dunia tetap berjalan. Layar-layar tetap menyala.
Kita men-scroll tragedi seperti hiburan. Dan, yang paling menyakitkan bukan hanya kekerasan, tapi diamnya hati-hati yang seharusnya masih hidup.
Perang ini bukan soal siapa yang kamu bela. Tapi soal siapa yang berani berkata: “Ini salah. Ini kejam. Ini tidak manusiawi.” Bukan soal politik. Tapi soal nurani. Bukan soal peta wilayah. Tapi soal nyawa.
Jika kita masih bisa merasa marah saat melihat bom dijatuhkan ke pemukiman, jika kita masih menangis ketika melihat bayi tak berdosa dibungkus kain kafan, maka kita belum mati. Kita masih manusia. Dan dunia masih punya harapan—lewat kita.
Pahamilah. Cinta bukan kelemahan. Ia adalah kekuatan yang paling ditakuti para tiran. Dan damai bukan angan-angan. Ia hanya hilang karena kita membiarkannya dibungkam.
Hari ini aku memilih tidak membawa bendera. Aku tidak menyerukan nama negara. Aku hanya berkata satu hal: Cukup sudah. Sudah terlalu banyak luka dan darah. Terlalu banyak kuburan dan airmata.
Dunia ini tidak butuh lebih banyak senjata—Dunia ini hanya butuh manusia yang melindungi manusia dan planetnya.
Love for all. Peace for all. Justice for all. Bukan karena itu mudah. Tapi karena itu yang seharusnya. (*)