Menunggu Sikap Kesatria PDI Perjuangan

- Jurnalis

Selasa, 2 September 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.

—-

RIP Indonesiaku. Tanah air ini sedang tidak baik-baik saja. Jalanan penuh suara. Para aktivis, mahasiswa, hingga emak-emak turun ke jalan. Mereka menuntut satu hal: keadilan.

Kenapa marah? Karena rasa adil itu makin tipis. Pajak naik. Guru disebut beban negara. Tapi, di sisi lain, anggota DPR justru mendapat tunjangan rumah Rp50 juta per bulan.

Mari kita berhitung sederhana. Rp50 juta dikali 580 anggota DPR, muncul angka Rp29 miliar per bulan. Setahun? Rp348 miliar. Angka itu setara dengan harga 10.000 rumah tipe 36. Setara membangun ratusan sekolah dasar baru.

Dari mana duit itu? Dari kita. Dari keringat rakyat. Dari pajak yang ditarik dengan segala cara. Maka wajar bila rakyat murka.

Mereka hidup di rumah kontrakan sempit, tidur beralaskan tikar, perut sering kosong. Tapi wakil mereka tidur di ranjang empuk, AC dingin, dengan rumah dibayar oleh rakyat.

Baca juga :  Menagih "Hutang" Presiden Prabowo Subianto

Ironisnya, ketika rakyat marah, politisi justru menjawab dengan joget. Dengan nyinyir. Dengan kata-kata “rakyat jelata.”

Mereka lupa. Lupa bahwa mereka hanya wakil. Lupa bahwa lima bulan lalu mereka datang ke kampung-kampung, membungkuk-bungkuk, mencium tangan rakyat, mengemis suara.

Puncaknya, terjadi ketika seorang pengemudi ojol, Affan Kurniawan, tewas di bawah ban rantis Brimob.

Peristiwa itu seperti percikan api yang jatuh ke tumpukan jerami kering. Seketika meledak. Kantor pemerintah dibakar. Mobil dinas hangus. Rumah pejabat jadi sasaran.

Seperti hukum fisika, energi potensial yang ditekan terus-menerus akan berubah jadi energi kinetik. Rakyat itu ibarat pegas. Selama ini mereka ditekan. Semakin ditekan, semakin kuat dorongan baliknya.

Kematian Affan hanyalah pemicu. Tapi energi marah itu sudah lama tersimpan. Apakah semua ini salah rakyat? Tidak. Ini buah dari sikap politik yang sembrono. Dari mulut-mulut anggota DPR yang seenaknya berbicara.

Baca juga :  Perang Para Begawan

Presiden Prabowo tampaknya sadar. Ia mengumpulkan ketua umum partai. Meminta pertanggungjawaban dari ulah anak buahnya yang memicu kekacauan.

NasDem cepat mengambil langkah. Ahmad Syahroni dan Nafa Urbach dinonaktifkan. Disusul PAN, yang juga menonaktifkan Uya Kuya dan Eko Patrio. Lalu Golkar, Adies Kadir turun dari kursi wakil ketua DPR.

Bahasanya memang “penonaktifan.” Istilah itu tidak ada dalam UU MD3. Artinya, mereka masih anggota DPR. Masih menerima gaji. Masih menikmati fasilitas. Tapi, setidaknya ada sanksi moral.

Berbeda dengan sikap PDI Perjuangan. Si moncong putih tak mengeluarkan sanksi. Padahal, dua kadernya, Deddy Sitorus dan Sadarestuwati juga menjadi bagian yang melukai hati rakyat.

Publik menunggu. Karena PDI Perjuangan lah yang selalu bawa jargon “Wong Cilik.” Wong Cilik itu artinya rakyat kecil. Tapi ketika kader PDI Perjuangan melukai hati wong cilik, partai diam.

Tidak ada sanksi. Tidak ada penonaktifan. Hanya Said Abdullah selaku ketua DPP meminta maaf. Menurut dia, kemungkinan teman sepejuangannya khilaf.

Baca juga :  Sang Penguasa Tiga Pendapa

Maka pertanyaannya, siapa sebenarnya yang dibela PDI Perjuangan? Wong cilik? Atau hanya memanfaatkan nama “wong cilik” untuk meraih kursi di Senayan?

Dalam ilmu psikologi sosial, ada istilah cognitive dissonance: jurang antara kata-kata dengan perbuatan. Semakin lebar jurang itu, semakin besar rasa kecewa publik. Dan dalam politik, kehilangan kepercayaan publik adalah kematian yang sebenarnya.

Maka, jika PDI Perjuangan benar partai wong cilik, inilah saatnya membuktikan. Menunjukkan sikap kesatria. Menonaktifkan kadernya yang nyinyir. Menunjukkan bahwa wong cilik bukan sekadar alat propaganda.

Jika tidak, rakyat akan menyimpulkan sendiri: banteng moncong putih itu bukan lagi pembela wong cilik, melainkan hanya penunggang nama wong cilik.

Rakyat itu seperti pegas. Bisa ditekan, bisa dibohongi, bisa dipaksa diam. Tapi, ketika energi potensial itu melepaskan diri, tidak ada yang bisa menahannya. Naudzubillah. (*)

Berita Terkait

JC Swasta
Runtuhnya Pilar Demokrasi di Kota Keris
Perang Para Begawan
Di Balik Kejujuran Mas Hambali
Menerka Suasana Kebatinan Pak Dahlan Iskan
Jejak Juang Provinsi Madura
Solusi Nyata Wujudkan Provinsi Madura
Menguji Iman Bung Faisal

Berita Terkait

Selasa, 2 September 2025 - 07:57 WIB

Menunggu Sikap Kesatria PDI Perjuangan

Senin, 11 Agustus 2025 - 07:52 WIB

JC Swasta

Kamis, 7 Agustus 2025 - 03:53 WIB

Runtuhnya Pilar Demokrasi di Kota Keris

Rabu, 30 Juli 2025 - 04:25 WIB

Perang Para Begawan

Minggu, 27 Juli 2025 - 04:16 WIB

Di Balik Kejujuran Mas Hambali

Berita Terbaru

Wakil Ketua DPD Gelora Pamekasan, Lora Izzat Muhammad Ghozali. (DOK. KLIKMADURA)

Pamekasan

DPD Gelora Pamekasan Soroti Buruknya Fasilitas Kesehatan

Selasa, 2 Sep 2025 - 15:40 WIB