Di Balik Kejujuran Mas Hambali

- Jurnalis

Minggu, 27 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Prengki WiranandaPemimpin Redaksi Klik Madura

——

DUA tahun sebelum pandemi Covid-19 mengubah wajah peradaban, saya meninggalkan Sumenep. Tepatnya, 18 Januari 2018. Tugas baru membawa saya ke Pamekasan.

Bekal saya saat itu tidak banyak. Hanya sedikit pengetahuan jurnalistik, dan secuil pengalaman yang saya serap dari para senior—salah satunya Mas Hambali Rasyidi.

Nama yang tidak asing dalam lanskap pers Madura. Di pojok Kantor DPRD Sumenep, di emperan warung kopi Pak Yono, Mas Hambali sering membagikan kisah dan petuah.

Ia tak hanya menjadi mentor, tapi juga cermin. Tentang bagaimana jurnalisme seharusnya tegak dalam badai, dan setia pada nuraninya.

Mas Hambali adalah mantan jurnalis Jawa Pos Radar Madura (JPRM)—media tempat saya pernah belajar menggenggam pena. Ia masuk sejak media itu baru lahir. Tahun 1999.

Ia menyaksikan pertumbuhan JPRM dari koran kecil menjadi raksasa informasi di Pulau Madura. Dan ia menceritakannya dengan gaya bertutur yang khas: runut, dalam, dan reflektif. Seolah menulis feature dengan suara.

Namun, kekaguman itu diuji. Belum lama ini, Mas Hambali menulis “pengakuan dosa”. Sebuah catatan pendek tapi memantik banyak asumsi.

Baca juga :  Belajar Terukur dari Mas Ipin

Ia mengaku menerima uang dari pelaku Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS). Totalnya: Rp 2.502.500. Uang konsumsi dan kopi. Recehan, jika bicara angka. Tapi jadi gunung jika bicara etika.

Nama Mas Hambali sontak bergema dalam nada miring. Narasi di warung kopi, grup WhatsApp, bahkan ruang redaksi, berubah tajam dan mencibir. Ada semacam kegamangan: apakah benar lelaki yang selama ini menyuarakan idealisme bisa tergelincir oleh ‘uang rokok’? Saya pun ikut terbakar emosi.

Hingga Sabtu, 27 Juli 2025. Tanpa rencana, saya dipertemukan langsung dengan Mas Hambali. Di ruang yang sederhana. Tanpa kopi, tanpa nasi. Hanya ada dua manusia: satu kecewa, satu mencoba menjelaskan.

Saya sempat meluapkan kekesalan. Kata-kata saya mungkin terlalu tajam. Namun, Mas Hambali tidak membalas dengan kemarahan. Ia hanya menarik napas dan berkata, “Sudut pandangmu terlalu sempit, Lek,”.

Saya diam. Terpaku. Kalimat itu sederhana tapi dalam.

Lalu ia menjelaskan. Katanya, tulisan “pengakuan dosa” itu hanyalah pemantik. Sebentuk trigger narrative untuk membongkar skandal yang lebih besar. Ia ingin agar publik tahu bahwa ada transaksi puluhan juta rupiah yang mengalir ke oknum jurnalis lain.

Baca juga :  Migas Madura, Paradoks Kekayaan Alam dan Kesejahteraan

Jumlahnya, menurut dia, mencapai Rp 70 juta hingga Rp 100 juta. Dan itu, katanya, sudah dia konfirmasi dari sumber primer. Valid.

Mas Hambali memilih membakar dirinya demi menerangi ruang yang gelap. Ia tahu reputasinya bisa hancur. Tapi ia juga tahu: jika tak ada yang mengaku duluan, tak akan ada satu pun kebenaran yang muncul ke permukaan. Ini bukan lagi soal nama baik pribadi. Tapi soal integritas profesi.

Secara psikologi sosial, langkah Mas Hambali bisa dipahami sebagai bentuk self-sacrifice—pengorbanan diri demi nilai yang lebih besar. Konsep ini erat kaitannya dengan moral elevation: ketika seseorang rela hancur demi memicu transformasi kolektif.

Tapi tentu, tidak semua orang bisa mengerti niat seperti itu, apalagi di era ketika kebisingan media sosial sering mengalahkan esensi.

Saya tidak tahu apakah Mas Hambali akan dikenang sebagai pengkhianat atau pionir. Sejarah selalu mencatat dua sisi. Tapi saya percaya, waktu akan memilah mana niat, mana modus.

Baca juga :  Usai Terima Duit Haram Rp 25 Juta, Oknum Aktivis dan Wartawan Minta Proyek dan Uang Rp 300 Juta

Yang jelas, ia sudah menyalakan lilin. Kita tinggal memilih: ikut menerangi, atau justru meniup apinya.

Saya sudah lama meninggalkan Sumenep. Tapi saat kembali, saya disambut oleh aroma busuk bernama skandal BSPS. Ironi. Di tengah gempita kebebasan pers, justru ada oknum jurnalis yang menjual marwahnya demi selembar rupiah.

Media adalah pilar keempat demokrasi. Tapi apa jadinya jika salah satu tiangnya keropos dari dalam? Mungkin memang sudah saatnya, ruang-ruang redaksi juga dikuliti. Agar tidak lagi jadi tempat persembunyian topeng dan dusta.

Semoga Rizky Pratama—Korkab BSPS Sumenep—berani membuka semua tabir. Jangan hanya menyebut profesi. Sebut juga namanya. Karena jika hanya samar, publik tidak akan pernah tahu siapa pelaku sebenarnya. Dan kita, akan terus memaki orang yang salah.

Di sinilah saya mulai mengerti: kejujuran kadang lebih menyakitkan daripada kebohongan. Karena ia membuat kita bercermin. Dan tak semua dari kita siap melihat bayangan sendiri. Maaf! (*)

Berita Terkait

Ketika Kades Tak Lagi PERKASA
Madura Surganya Energi Baru Terbarukan
Saatnya Madura Menatap Energi Baru
Saatnya Kangean Pulih dari Luka Eksploitasi
Hari Jadi Kabupaten Sumenep: Terima Kasih Pak Bupati
Jejak Fosfat dan Bayang Uranium di Tanah Madura
B.J. Habibie dan Uranium yang Masih Misteri
Benarkah Bumi Madura Menyimpan Uranium?

Berita Terkait

Rabu, 12 November 2025 - 04:09 WIB

Ketika Kades Tak Lagi PERKASA

Senin, 3 November 2025 - 23:07 WIB

Madura Surganya Energi Baru Terbarukan

Senin, 3 November 2025 - 00:16 WIB

Saatnya Madura Menatap Energi Baru

Minggu, 2 November 2025 - 00:33 WIB

Saatnya Kangean Pulih dari Luka Eksploitasi

Jumat, 31 Oktober 2025 - 03:56 WIB

Hari Jadi Kabupaten Sumenep: Terima Kasih Pak Bupati

Berita Terbaru

Catatan Pena

Ketika Kades Tak Lagi PERKASA

Rabu, 12 Nov 2025 - 04:09 WIB