Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.
—
ADA satu hal yang paling membuat publik gerah dalam perkara hukum: ketika proses sudah berjalan, tetapi hasilnya seperti jalan di tempat. Begitulah yang kini terjadi pada dugaan megakorupsi Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Kabupaten Sumenep.
Kasus yang naik penyidikan sejak 10 Juli 2025 lalu itu sampai hari ini masih berputar di lingkaran “pemeriksaan tanpa ujung”.
Sebanyak 50 kepala desa sudah dipanggil, ratusan penerima bantuan sudah diperiksa, bahkan Koordinator Kabupaten BSPS Sumenep, Rizky Pratama, juga sudah duduk di kursi pemeriksaan Kejati Jatim. Namun, apa hasilnya? Nihil. Tak satu pun ditetapkan sebagai tersangka.
Yang lebih mengejutkan, Rizky justru secara terbuka menyebut banyak pihak diduga terlibat dalam permainan dana BSPS ini. Bukan hanya level bawah, tetapi juga pejabat di lingkungan Pemkab Sumenep hingga oknum anggota DPRD Sumenep.
Jika pengakuan ini benar, maka lingkaran kasus ini tak bisa lagi disebut kecil—ia sudah menjalar ke pusaran elite politik dan birokrasi. Wajar jika publik bertanya: apakah ada kekuatan besar yang sedang menghalangi laju pena penyidik?
Kasus ini bukan lagi sekadar soal rumah layak huni bagi warga miskin. Ia telah berubah menjadi pertaruhan besar: nama baik korps adhyaksa dan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Bayangkan, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur sudah menyatakan kasus ini masuk tahap penyidikan.
Artinya, secara formil sudah ada dua bukti permulaan yang cukup. Tetapi mengapa hingga kini tidak ada tersangka? Apakah buktinya menguap? Atau, dalam bahasa sinis yang sering kita dengar, hukum kembali tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Satjipto Rahardjo pernah menulis, “Hukum bukan hanya teks, melainkan juga nyali.” Nah, di titik ini publik sedang menanti: apakah Kejati Jatim punya nyali menuntaskan kasus BSPS, atau justru membiarkannya larut sebagai kasus “lupa” yang pelan-pelan ditutup kabut waktu.
Dalam teori hukum, Gustav Radbruch menekankan tiga asas: kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Kasus BSPS jelas gagal menghadirkan kepastian. Publik hanya disuguhi proses panjang tanpa arah. Ketidakjelasan itu pula yang memunculkan spekulasi dan teori konspirasi.
Lawrence Friedman menyebut hukum sering terjebak dalam tarik-menarik kepentingan. Artinya, hukum tak selalu berjalan lurus, tetapi bisa bengkok jika disentuh kepentingan politik.
Tak heran jika muncul bisik-bisik: mungkin ada “permainan meja” di belakang kasus ini. Ada nama besar yang ingin dilindungi. Ada kepentingan politik yang tidak ingin terbuka di ruang publik.
Dan seperti biasa, yang paling gampang dijadikan korban adalah rakyat kecil penerima bantuan. Kasus BSPS bukan hanya soal angka kerugian negara, tetapi juga soal martabat masyarakat penerima.
Mereka yang seharusnya mendapatkan manfaat kini merasa seperti tertuduh. Dipanggil berkali-kali, diperiksa berulang kali, sementara aktor besar yang disebut-sebut justru seolah kebal dari jeratan hukum.
Kejaksaan tentu sadar, kasus ini sedang diperhatikan publik. Apalagi setelah Rizky Pratama blak-blakan menyebut ada pejabat Pemkab dan oknum DPRD ikut bermain. Jika aparat penegak hukum tidak berani menembus lingkaran elite itu, publik akan mencatat: hukum hanya berani pada yang lemah, tetapi ciut pada yang kuat.
Ini bukan hanya soal BSPS. Ini soal masa depan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Sekali publik yakin bahwa kejaksaan bisa dipengaruhi, habislah legitimasi hukum di mata rakyat. Dan ketika hukum kehilangan legitimasi, maka negara kehilangan wibawa.
Paul Scholten pernah menegaskan, “Hukum tanpa keadilan adalah kosong.” Kasus BSPS di Sumenep adalah ujian besar: apakah hukum kita hanya prosedur kosong, atau benar-benar menjadi alat keadilan?
Kejaksaan harus menjawab pertanyaan publik dengan tindakan nyata dengan segera menetapkan tersangka, membongkar aktor besar di balik permainan ini, dan membawa kasus ke pengadilan.
Jika tidak, publik hanya akan menambah daftar panjang kasus-kasus besar di negeri ini yang selesai bukan dengan hukum, tapi dengan lupa. Dan tentu, lupa adalah bentuk paling halus dari pembunuhan kebenaran. Maaf!. (*)