Merpati Hitam
Sesaat setelah wajahmu menelungkup di dasar rasa
Matamu menyiratkan banyak makna
Satu, dua, tiga, sulit kueja
Hingga pendar merah menggelantungi nabastala
Aku melangkah menuju danau tanpa nama
Kusebut deret kata dalam tiap ritme doa
Meski nyanyian pilu mengitari sudut tiap jengkal pandangan
Menikmati luka bersamamu dalam bayangan
Satu busur panah menancap di ujung derita
Semburat luka merah menyala
Terpantul ke udara yang berlalu lalang
Memercik bagai api yang berkobar
Sekali lagi kupanggil namamu
Berusaha menguatkan ikatan batin
Merapal mantra, menjejaki ruang hampa
Tanpa sadar, dirimulah merpati hitam
Isyaratkan padaku nyanyian merayakan kehilangan
Bertema sendu, bertajuk pilu
Bertutur pada gumpalan awan kelabu
Sebelum rintik menciptakan satu lagu
Segala harap dan cemas
Kutitipkan pada mega petang
Semoga esok kutemui dirimu dalam nyata
Demi menuntaskan sakit dan rindu yang belum terbayar.
Madura, 8 September 2025
5 Juli di Madura
Lihat, beberapa detik sebelum itu,
Kutemui rindu di sudut matamu
Membias pilu karna lama tak bertemu
Sendu bahkan hilang tanpa lagu
Amboi! Ada apa dengan duniaku?
5 juli seolah menceritakan kenangan haru
Berjanji untuk menjadi satu
Kemudian gugur satu persatu
Mega di nabastala
Bernyanyi pujian dan mantra
Disaksikan burung-burung gereja
Sementara dia kapan akan singgah
Di tanah Madura ini
Kupersembahkan senja merah di mata langit
Menggantung dengan banyak deru derita Terngiang seribu bahasa
5 dan Juli
Mari perbaiki hati
Semoga Tuhan sudi mempertemukan kembali
Bayanganmu pun hilang
Sepintas, aku mengingat gurat-gurat di wajahmu. Menoreh luka pada setiap netra yang menantapmu.
Meski sekilas kutahu apa rasamu, maka disaat itulah aku ingin memelukmu.
Kamu berlar, mengejar raga Tuhan yang tak pernah kau lihat di tubuh orang-orang.
Tak lagi peduli seberapa sakit kau mencari lalu kembali tanpa sesuatu yang pasti.
Kemudian, senja itu mengajak ruhmu pergi bersama kabung-kabung mega di sisi langit.
Memintamu kembali pada apa yang sebenarnya harus kamu datangi.
Mengganggam janji tanpa perlu tahu, kapan harus meminjam namaku lagi.
Bayanganmu pergi,
Bersama luka dan segenggam harapan yang belum sempat kutitip pada Tuhan
Kamu benar-benar pergi,
Meninggalkan jejak dan suara bisikanmu yang selalu merayu Tuhan.
Satu kata untukmu dan senja di bibir langit,
Kembalilah…
Hapuskan luka-luka di tubuhku
Dan bawakan aku ridho Tuhan yang kau gantung di bibirmu yang beku.
Sumenep, 8 September 2025
Bangunlah Rumahmu Sendiri
Semenjak menjadi bagian yang hilang
Di antara kita bukan lagi satu kesatuan yang sama-sama memuja keindahan
Pelupuk matamu yang indah, deru napasmu yang mendera
Tetiba senyap tanpa suara
Nyata namun menyakitkan
Genggaman dahulu yang ku ingat, selamanya menguap
Udara di atas kepala saat menyapa fajar, berubah embun seketika
Sejauh ini, aku belajar melepas sedalam ikhlas
Rumahku belum kokoh berdiri
Dindingnya rapuh, lantainya basah, jendelanya rusak
Ku persilahkan dirimu membangun yang lain
Sementara diriku memungut pecahan kaca di pojok sana
Terima kasih, Sayang.
Ikhlas ini kutangguhkan sejak 5 tahun kau menjauh tanpa meninggalkan pendar.
Beri Aku Bintang dan Senyum Itu
Di penghujung bulan januari
Di antara embun pagi dan bisik-bisik merpati
Sejauh hati mendekap bayangan
Sedekat nadi merasakan denyutan
Setelah jauh meniti waktu yang tak berkesudahan
Tujuh musim dan malam-malam meninggalkan harapan
Kita sama sekali tidak merasakan adanya temu
Bahkan tarian bunga seroja menutup cerita sebelum bertamu
Bintang itu…
Ku temukan titik terang pantulan wajahmu
Gurat dan sketsa berpadu sempurna
Menjabarkan rindu dan temu yang tak sejalan
Merebak di tepi lorong kenangan
Lihat! Aku tersenyum dengan segala kekuatan
Memeluk tawamu yang terngiang dalam benak
Senyum-senyum ironi menutupi segala sakit
Aku mengerti, luka kita sama namun pelik
Bintangku, senyummu
Berbekas dalam ruang hampa tanpa cinta
Menyeruak semacam buih di lautan
Menghapus jejak dan harapan
Untuk kali ini izinkan aku meraih itu
Segumpal nyawa dengan cinta dan senyuman
‘Kan ku beritahu alam raya
Bahwa aku masih punya segalanya selain penderitaan
Sumenep, 8 September 2025
****
BIODATA:
Namaku Nuril Izza Afgarina. Perempuan yang dilahirkan di kota Sumenep, 3 Juli 2000. Aku bisa dipanggil dengan nama Icha, Cha, Afga atau apapun yang membuatmu bahagia. Saat ini aku duduk di bangku sekolah menengah atas swasta dan dengan program kepesantrenan. Sebenarnya, aku bukan penulis handal yang bisa membuat pembaca berdecak kagum dengan karyaku, hanya saja aku suka menulis apapun yang sekiranya bisa kubaca sendiri. Entah itu kisah sendiri atau kisah orang lain.