Oleh: Abrari Alzael, Budayawan, Jurnalis Senior.
——
TAHUN 2001 saat itu, saya berkenalan dengan Masdawi Dahlan. Ia, jurnalis media cetak di Pamekasan. Sebelumnya, ia bekerja di media elektronik, radio. Perkenalan saya, sebagai yunior yang baru bergabung di media cetak terbesar ketika itu. Kami, bekerja di perusahaan yang sama.
Sebagai senior, orang yang lebih dulu meniti karir di jurnalistik, ia hobi memberi advis, diantaranya, mengkritik hasil reportase saya. Terutama menyangkut rukun iman jurnalistik, 5 W + 1 H yang selalu diwanti-wanti.
Sampai akhirnya, saya mengerti bagaimana menyajikan berita yang mendekati utuh, terutama terkait dengan straight, soft, dan investigative news.
Setiap hari, kami bekerja di desk yang berbeda. Ia bergiat di soal yang secara tematik bersentuhan dengan pendidikan, politik, sosial, ekonomi dan pembangunan.
Sedangkan saya, ditugaskan di bagian olahraga, hukum dan kriminal. Tetapi pada akhirnya, kami berkoordinasi supaya tidak meliput peristiwa yang sama.
Tiga bulan saya bekerja, selama itu pula berproses, berinovasi dan berdiskusi; menyangkut apa yang mesti dijadikan head line (HL).
Namun, berdasar seleksi alam, saya kalah bersaing dan tereliminasi dari jurnalis. Masdawi terus bertugas sebagai jurnalis, sedangkan saya, dirumahkan oleh perusahaan itu. Kektika itu, saya merasakan diri bak orang yang lagi sayang-sayangnya tetapi diputus.
Satu tahun berlalu, saya kembali menjadi jurnalis pasca dipanggil lagi oleh perusahaan (2002). Di kantor, bertemu lagi dengan Masdawi. Anggap saja kantor, meski hanya rumah tua, semi permanen.
Satu meter bangunan dari pondasi, bertembok. Sedang di bagian atas tersusun dari gedeg bambu. Jika hujan, bocor, atau rembes dan halaman berubah, jadi genangan air.
Masdawi begitu gigih bekerja. Cara kerja kami sangat sederhana ketika itu. Kamera yang digunakan, poket, merk Fuji MDL-5. Begitu selesai memotret, bergerak ke tempat cetak foto, film di dalam kamera dipotong, lalu dicetak untuk kemudian discanner agar bisa disimpan dalam bentuk file. Suatu peristiwa yang berbeda dengan realitas jurnalis saat ini yang serba digital.
Tetapi Masdawi (dan saya juga) bersemangat untuk membuat karya jurnalistik yang enak dibaca dan ditunggu pembaca dalam sebentuk surat kabar keesokan harinya, seperti itu, selalu serupa itu.
Saya berpikir, Masdawi yang tukang ceramah jurnalistik itu, hanya memberi nasehat kepada saya. Ternyata, teman-teman jurnalis muda lintas media, mendapat siraman jurnalisitik pula.
Saya kembali menduga, sebagai orang yang pernah menjadi reporter di salah satu radio di Pamekaksan, Masdawi hanya rindu, untuk siaran.
Kerinduan itulah yang jadi ceramah, nyaris setiap hari. Mau bilang bosan, tentu saja sungkan karena dia senior. Tetapi saat ini, setelah dia pergi untuk selamanya, rasanya telinga ini diperdengarkan salah satu lagu Rhoma Irama, kalua sudah tiada, baru terasa….

Masdawi, sebagai jurnalis senior saat itu, ia legend. Para pejabat lokal mengenalnya dengan baik. Tetapi pada sekitar tahun 2004, Masdawi resign dari tempat kami bekerja. Ia memilih berkumpul bersama keluarga daripada harus pindah ke kota lain, pasca terkena mutasi atau roling dari Perusahaan.
Masdawi, akhirnya pindah ke perusahaan media cetak lain. Saya berpikir, ia tidak akan menceramahi saya karena sudah berbeda perusahaan. Tetapi di lapangan, begitu ketemu di lapangan, ia pasti ceramah.
Selain soal jurnalistik, soal yang lain pula, ia juga ceramah seperti menyangkut kebijakan, politik, agama dan pendidikan. Dari aspek ceramahnya yang rajin, Masdawi dalam perspektif saya lebih pantas jadi pengajar, atau guru , dibanding menjadi jurnalis itu sendiri.
Karakter edukatif yang melekat pada dirinya, berdampak pada karya jurnalisitknya. Saya menyebut karya jurnalistiknya sebagai Masdawian, mencerdaskan. Satu karya yang sedikit bebeda dengan karya jurnaisitik saya waktu itu, Alzaelan, mencerahkan. Tetapi walau kami berbeda mazhab jurnalisitik, kami tetap bersahabat, dan renyah.
Tak menyangka, pertemuan kami 4 bulan yang lalu (awal September 2025), kami bertemu untuk yang terakhir kalinya di Campol Gladak Basar. Di luar pertemuan off line, kami masih bercakap secara on line, di grup kami, sesame veteran jurnalistik.
Masdawi dalam grup kami, sedang memperlihatkan karya jurnalistiknya dalam bentuk opini. Sebagai tanda bahwa ia masih eksis sebagaimana mazhab Zainalan, aku menulis maka aku ada, atau mengadaptasi Descartes (aku berpikir maka aku ada) maupun Albert Camus, aku berontak maka aku ada.
Kini, Masdawi telah pergi dan tidak akan menulis lagi, tidak ceramah kembali. Ia wafat dalam usia 60 tahun, usia pensiun, dan selama-lamanya. Ia, sangat mencintai keluarganya dan selalu menceritakan hal itu kepada teman-temannya.
Indra Sulistiawati yang sabar-penyayang, Ical dan Basri yang cerdas dan dua lainnya Azizah dan Fitri, putri yang mengerti keberadaan orangtuanya.
Dalam hal bercerita tentang keluarga, Masdawi menegaskan dirinya yang mmeiliki jiwa pendidik, sebagaimana dosen di dalam kelas, yang bercerita tentang keluarga kepada mahasiswa. Selamat jalan wartawan senior, kepergianmu berbalur doa-doa. (*)














