Ketika Penis Patung Lebih Berguna daripada Pena Wartawan

- Jurnalis

Rabu, 30 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Fauzi As, Pengamat Kebijakan Publik.

—-

DI negeri ini, pers dulunya adalah mimbar suci, tempat rakyat menitip harapan agar suara mereka tak ditelan gaduh kekuasaan.

Tapi kini, mimbar itu lebih mirip becak tua: muatannya penuh iklan proyek, bannya kempes, dan penariknya ngopi di warung sambil mengeluh belum dapat setoran.

Lahirnya media online yang seperti cendawan di musim hujan, bukan masalah. Masalahnya adalah jamur-jamur ini tak tahu diri, tumbuh tanpa pupuk pengetahuan, dan tetap bersikukuh mengaku wartawan.

Dengan bekal akun blog gratisan dan ID card hasil laminating toko ATK, mereka menyusup ke ruang-ruang strategis: kantor desa, balai proyek, rumah kontraktor, dan tentu saja warung kopi tempat menyusun narasi dan menagih janji.

Pers seperti bukan lagi pilar demokrasi, tapi pilar tempat numpang charging. Mereka yang dulu dipuja sebagai pengungkap kebenaran kini jadi pelengkap acara musyawarah. Bukan untuk bertanya, tapi untuk menyodorkan nomor rekening.

Dahulu, ancaman terhadap pers datang dari penguasa. Sekarang, ancamannya datang dari rekan seprofesi: wartawan yang menulis tanpa data, berkomentar tanpa rujukan, dan menganggap diksi adalah jenis makanan ringan.

Saya tak sedang mengada-ada. Dunia jurnalistik hari ini sedang dijajah oleh gerombolan oknum. Mereka yang pikirannya lebih tumpul dari kantongnya.

Dan, di tengah semua itu, muncullah satu simbol tragis nan ironis: Patung Victor Noir.

Victor Noir, wartawan legendaris abad ke-19, kini lebih dikenal bukan karena tulisannya, tapi karena penis pada patung makamnya yang diyakini bisa menyuburkan rahim hanya dengan dielus.

Baca juga :  Drama Migas di Ujung Madura

Orang rela antre, pegang itu penis, berharap dikaruniai anak. Sementara, pena wartawan hari ini? Banyak tak bisa menyuburkan apa-apa. Bahkan, tak bisa menumbuhkan akal sehatnya sendiri.

Maka saya sampai pada kesimpulan yang getir: penis patung itu lebih bermanfaat daripada pena wartawan yang malas belajar karena terlalu rajin menakut-nakuti.

Fenomena ini makin lucu saat kita bicara soal kompetensi. Uji kompetensi dianggap musuh. Mereka lebih memilih uji nyali: menulis berita miring, lalu kirim link ke narasumber dengan nada ancaman.

“Kalau mau diralat, bisa dibicarakan. Tapi jangan lupa isi pulsa saya dulu.”

Wartawan dulu dipenjara karena idealisme. Wartawan sekarang banyak dipenjara karena rekayasa berita dan pemerasan. Dan di Sumenep, kampung halaman kita yang tenang ini, aroma itu mulai terasa.

Saya tidak mau menghakimi. Tapi banyak yang menyebut oknum wartawan dan LSM ikut menerima aliran dana dari program BSPS.

Dan jangan kaget sudah ada di kantong saya 42 bukti transfer. Apakah mereka semua wartwan? Bukan! mereka hanya jambret yang belajar menodong perampok besar.

Saya tidak menuduh siapa-siapa, tapi ketika saya menulis kritik terhadap sistem, tiba-tiba ada yang merasa geli, risau, dan tersinggung padahal saya tak menyebut namanya.

Kalau saya tulis: “Ada tikus di dapur,”Lalu anda marah, Jangan salahkan saya. Coba tanya diri sendiri: Apakah anda seekor tikus?.

Mas Hambali, yang saya doakan selalu sehat, menulis tentang saya dan menyematkan nama saya dalam huruf tebal: “Fauzi As Jujurlah,”.

Baca juga :  Kenaikan Harga Cukai Rokok Harus Ditinjau Ulang

Saya apresiasi semangat kejujurannya. Tapi tuduhan harus pakai data, bukan pakai prasangka lingkungan. Mungkin Mas Hambali terbiasa dengan sistem yang kalau satu teman dapat proyek, teman lain pasti kebagian rezeki.

Maaf, Mas. Saya belum seberuntung itu. Kalau pun saya lapar, saya masih lebih pilih makan tahu goreng pakai garam, daripada menyuap mulut dengan duit hasil ancaman.

Saya sudah tanyakan langsung pada pihak yang katanya memberi uang Rp 70 juta itu. Dan justru penerima bersepeda meminta agar saya tidak boleh tahu.

Lalu seolah Mas Hambali mau menarik saya untuk ikut bertanggung jawab atas apa yang bahkan saya tidak tahu? itu bukan investigasi. Itu namanya inves kentut dalam sarung.

Saya ingat pada satu peristiwa tanggal 5 Mei 2024. Seorang tak dikenal, kata teman-teman namanya Latif, mendadak mencubit saya.

Ia membuat video sambil berteriak, “Rumah Fauzi Mami Muda Sedang Mau Disita!”

Suaranya bangga, gayanya seperti reporter infotainment. Lalu besoknya, muncul akun tiktok bodong. Lanjut berita yang ditulis oleh wartawan bernama Hendra.

Beberapa bulan kemudian? Latif masuk penjara kasus PATM (Pompa Air Tanpa Mesin). Hendra menyusul jadi tersangka kasus pemerasan. Dan anehnya lagi, jejak rekening Hendra ini juga masuk daftar pulsa BSPS.

Saya tidak mengancam siapa pun. Tapi dari kisah itu, saya belajar satu hal: jangan serang rumah orang kalau tidak siap rumahmu disorot balik. Takut ada jejak APBN dan APBD, atau fraud Bank BUMD yang keruhnya belum kering.

Baca juga :  Satir Rp 300 T: Ekspresi Ketidakpuasan Publik terhadap Sistem Hukum di Indonesia

Rumah saya yang divideo itu bukan istana. Itu tempat anak saya tidur, tempat istri saya menyeduh kopi. Kalau Anda cari sensasi, carilah dari kebenaran, bukan dari genteng rumah orang lain.

Soal BSPS, sebelum Hambali menyebut nama saya, saya tidak pernah menyebut nama Hambali maupun Ainur.

Tapi jika muncul rasa panik setelah saya menulis soal dugaan keterlibatan oknun kades, DPR, APH, dan wartawan, maka bisa jadi bukan tulisan saya yang menyinggung, tapi ada dosa BSPS yang belum selesai ditimbang.

Dan kalau Anda merasa geli membaca tulisan saya, saya sarankan jangan digaruk. Coba renungkan, mungkin itu bukan geli. Mungkin itu hati nurani Anda yang sedang bereaksi.

Akhir kata, saya bukan pahlawan. Saya juga tidak anti uang. Tapi saya percaya satu hal: Tidak semua rezeki pantas disantap, apalagi yang diselipkan lewat amplop dan tekanan.

Dan bila pers ingin kembali berwibawa, maka wartawannya harus lebih tajam dari penis patung Noir, lalu penanya harus lebih jujur dari bujuk rayu dana BSPS.

Jika tidak bisa jadi cermin kebenaran, maka jangan heran jika orang lebih percaya pada patung batu, daripada tulisan Anda yang serba abu-abu. (*)

__

DISCLAIMER: Seluruh isi tulisan ini sepenuhnya pendapat pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan redaksi kami. (red)

Berita Terkait

Cyber-Utopianisme dan Realitas Generasi Muda
Saya Bukan Pejuang Kebenaran dan Keadilan. Toh Saya Masih Membela Orang Salah
Pilih: Rp 15 Juta Menjual Kejujuran? Atau Rp 100 Juta Hanya untuk Cari Data?
Kenaikan Harga Cukai Rokok Harus Ditinjau Ulang
RSUD Sumenep HONK?
Saat Ketua Banggar Tak Lagi Menakutkan
Ketika Dunia Tengah Porak-Poranda, Kita Di Mana?
Drama Migas di Ujung Madura

Berita Terkait

Senin, 28 Juli 2025 - 08:35 WIB

Cyber-Utopianisme dan Realitas Generasi Muda

Minggu, 27 Juli 2025 - 22:46 WIB

Saya Bukan Pejuang Kebenaran dan Keadilan. Toh Saya Masih Membela Orang Salah

Minggu, 27 Juli 2025 - 13:24 WIB

Pilih: Rp 15 Juta Menjual Kejujuran? Atau Rp 100 Juta Hanya untuk Cari Data?

Kamis, 24 Juli 2025 - 02:53 WIB

Kenaikan Harga Cukai Rokok Harus Ditinjau Ulang

Senin, 7 Juli 2025 - 11:23 WIB

RSUD Sumenep HONK?

Berita Terbaru