JAKARTA || KLIKMADURA – Usulan pengesahan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) kembali mengemuka. Meski telah diperjuangkan sejak 2004, hingga kini regulasi itu belum juga disahkan.
Padahal, jumlah pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia sangat besar dan mayoritas bekerja tanpa perlindungan hukum yang layak.
Inisiator RUU Perlindungan PRT, Willy Aditya mengungkapkan, pekerja rumah tangga selama ini tidak diakui dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Hal itu menjadi masalah fundamental karena hanya pekerja di sektor barang dan jasa yang tercakup dalam UU tersebut.
”UU Ketenagakerjaan sangat diskriminatif. Pekerjaan rumah tangga tidak dianggap sebagai pekerjaan formal. Ini masalah mendasar yang harus segera dibenahi,” ujarnya.
Pria yang menjabat Ketua Komisi XIII DPR RI itu mengatakan, akibat tidak masuk dalam sistem hukum ketenagakerjaan yang berlaku, jutaan PRT di Indonesia bekerja tanpa kejelasan status. Bahkan, jam kerja, maupun hak atas upah dan jaminan sosial juga tidak jelas.
”Bayangkan, di zaman sekarang masih banyak orang yang bekerja tanpa kejelasan. Ini bentuk eksploitasi yang nyata, tapi terus diabaikan karena dianggap urusan privat, bukan publik,” tegasnya.
Menurut Willy, RUU Perlindungan PRT memiliki karakteristik berbeda dibanding UU ketenagakerjaan pada umumnya. Ia menyebutnya sebagai lex specialis, karena substansinya mirip dengan regulasi tentang perlindungan korban perdagangan orang.
”Kita hanya ingin memberi perlindungan. Bukan mengatur hubungan pribadi antara majikan dan PRT. Tapi regulasi ini perlu agar tidak ada lagi yang bekerja tanpa kepastian hak,” ujar anggota DPR RI dari Dapil Madura.
Dalam penyusunannya, tim inisiator menggandeng banyak pihak. Termasuk, serikat pekerja dan organisasi sosial. Tujuannya agar UU tersebut bisa menyentuh berbagai konteks sosio-kultural yang melekat dalam relasi majikan dan PRT di Indonesia.
RUU tersebut dibangun dengan pendekatan dua klaster. Pertama, PRT yang direkrut secara langsung oleh keluarga. Kedua, mereka yang direkrut melalui penyalur atau yayasan.
“Kami ingin mengatur penyalur yang selama ini berbentuk yayasan, tapi tidak jelas status hukumnya. Mereka harus berbadan hukum dan ada mekanisme pengawasan yang jelas,” katanya.
Selama ini, banyak penyalur yang bertindak sebagai perekrut. Namun, abai terhadap hak-hak pekerja. Tidak jarang kontrak kerja tidak dibuat, atau dibuat secara sepihak oleh pihak penyalur tanpa melibatkan pekerja.
”Kalau ada kontrak kerja yang jelas, itu sudah langkah maju. Tapi kenyataannya masih banyak yang kerja tanpa surat apa pun. Ini praktik yang tidak boleh dibiarkan,” imbuhnya.
Politisi NasDem itu menyampaikan, pengesahan RUU Perlindungan PRT adalah langkah penting untuk menegaskan bahwa pekerja rumah tangga adalah pekerjaan sah yang wajib dilindungi negara. Tanpa itu, relasi kerja dalam ruang domestik akan terus dilingkupi eksploitasi dan ketimpangan.
”Kami tidak mengatur relasi budaya seperti orang tua membawa pembantu dari kampung dan menganggapnya seperti keluarga. Tapi yang ingin kita atur adalah relasi kerja, agar tidak ada lagi pekerja yang tidak diperlakukan secara adil,” tandasnya. (pw)