Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.
——
KONGRES hampir selalu identik dengan kegaduhan. Itu hukum alam organisasi. Siapa pun yang pernah duduk di ruang sidang tahu betul: adu argumentasi adalah napas demokrasi.
Maka, ketika Kongres ke-XII Aliansi Jurnalis Pamekasan (AJP) di Batu, Malang, berjalan panas dan menegangkan, sejatinya itu bukan anomali. Justru itulah tanda kehidupan. Organisasi yang sehat tidak lahir dari ruang sunyi, tetapi dari perdebatan yang keras namun jujur.
Delapan jam membedah AD/ART bukan soal waktu yang terbuang. Dalam perspektif teori organisasi modern, konflik internal yang terkelola dengan baik justru memperkuat kohesi kelompok.
Lewis Coser menyebutnya functional conflict. Yakni, konflik yang memperjelas nilai, mempertegas arah, dan memperkuat identitas kolektif. Ketegangan antara peserta dan presidium sidang yang sempat dianggap kurang peka adalah bagian dari mekanisme kontrol horizontal. Demokrasi bekerja. Tidak nyaman, tapi perlu.
AJP kini berusia 17 tahun. Usia remaja, kata orang. Tapi remaja yang sadar diri. Dalam sosiologi organisasi, usia bukan penentu kedewasaan. Yang menentukan adalah kemampuan mengelola perbedaan tanpa pecah. AJP menunjukkan itu.
Darah muda memang mengalir deras, merah, panas, penuh gairah namun tidak membutakan nalar. Perdebatan tidak berubah menjadi permusuhan. Kritik tidak menjelma dendam. Ini bukan hal kecil. Banyak organisasi runtuh justru pada fase seperti ini.
Menariknya, kegaduhan itu tidak berumur panjang. Begitu sidang selesai, suasana berubah teduh. Seperti hujan yang reda setelah petir. Semua kembali pada khittah: organisasi adalah rumah bersama, bukan panggung ego personal.
Ini selaras dengan prinsip collective interest dalam teori kepemimpinan partisipatif, bahwa kepentingan bersama harus berdiri di atas ambisi individu. AJP lulus ujian itu.
Pilihan kongres yang kembali mempercayakan kepemimpinan kepada M. Khairul Umam untuk periode 2025–2027 bukan keputusan emosional. Itu keputusan rasional. Dalam kajian kepemimpinan, keberlanjutan (leadership continuity) sering kali dibutuhkan ketika organisasi sedang berada pada fase konsolidasi. Irul dinilai berhasil menjadikan AJP bukan sekadar forum berkumpul wartawan, tetapi motor penggerak, ruang belajar, ruang advokasi, dan ruang solidaritas.
Di sinilah letak kedewasaan AJP. Gaduh tidak disangkal, tetapi dikelola. Perbedaan tidak disapu di bawah karpet, tetapi dibahas hingga tuntas. Setelah itu, semua berdiri sejajar kembali. Bersatu. Bersama. Ini bukan romantisme. Ini kerja organisasi yang matang. Sebab organisasi yang besar bukan yang bebas konflik, melainkan yang mampu menutup konflik dengan kesepakatan.
Maka, Kongres AJP ke-XII memberi satu pelajaran penting. Bahwa, kegaduhan bukan akhir segalanya. Ia justru awal dari keteduhan yang lebih jujur. Dari perdebatan lahir kepercayaan. Dari panas lahir kesejukan. Dan dari dinamika itulah AJP melangkah lebih dewasa, tetap kritis, tetap solid, dan tetap bersama. Selamat! (*)














