Penulis, Mohammad Ali Fahmi Romadani dan Wasilurrahman, Mahasiswa Universitas Madura (Unira).
——-
DI BAWAH denting kendang yang berpadu dengan gerak lincah para penari, Sandur Madura terus hidup sebagai denyut kebudayaan yang tak pernah benar-benar padam.
Tradisi ini bukan sekadar pertunjukan seni, melainkan cermin perjalanan panjang masyarakat agraris Madura dalam merawat rasa syukur, kebersamaan, dan identitas budaya.
Sandur lahir dari rahim kehidupan petani Madura. Pada masa lalu, pertunjukan ini dipentaskan sebagai ungkapan terima kasih atas panen yang melimpah. Ia hadir dalam pesta panen, pernikahan, hingga berbagai perhelatan adat.
Jejak panjang Sandur bahkan melintasi wilayah Pulau Madura. Di Desa Manduro, Jombang, misalnya, Sandur hidup sebagai “Sandur Manduro”, warisan yang dibawa para perantau Madura dan terus dijaga hingga kini.
Keunikan Sandur terletak pada perpaduan tiga unsur utama: tari, musik, dan teater. Para penari tampil dengan kostum berwarna cerah, bergerak dinamis mengikuti irama gamelan dan kendang.
Setiap gerakan menyimpan semangat hidup masyarakat Madura yang keras, jujur, dan bergelora. Di sela tarian, dialog-dialog lakon disampaikan dengan gaya teatrikal, sarat pesan moral, dan kerap diselipi humor yang mengundang tawa.
Kostum menjadi daya pikat tersendiri. Warna-warna mencolok bukan sekadar hiasan visual, melainkan simbol keceriaan, keberanian, dan ekspresi jiwa masyarakat Madura. Dari panggung sederhana di desa hingga arena festival budaya, Sandur selalu tampil memikat.
Lebih dari sekadar hiburan, Sandur mengandung nilai-nilai luhur. Ia menanamkan makna kebersamaan, karena pertunjukan ini menyatukan warga dalam ruang suka cita.
Sandur juga menjadi simbol rasa syukur atas rezeki yang diterima, sekaligus penegas identitas budaya Madura yang terus bertahan di tengah gempuran zaman.
Namun, jalan pelestarian Sandur tidak selalu mulus. Arus globalisasi dan budaya populer membuat minat generasi muda perlahan bergeser. Tantangan inilah yang kini dihadapi para pelaku seni dan pemerhati budaya.
Menyadari hal itu, pemerintah daerah bersama komunitas seni terus menggelar festival budaya, pelatihan, dan workshop untuk mengenalkan Sandur kepada generasi penerus.
Festival budaya menjadi panggung penting bagi Sandur untuk kembali bersinar. Tak hanya mempertemukan seniman lintas generasi, festival juga menjadi magnet wisata budaya yang menarik perhatian wisatawan lokal hingga mancanegara.
Dari sinilah lahir harapan baru agar Sandur tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang mengikuti denyut zaman tanpa kehilangan ruh aslinya.
Sandur Madura pada akhirnya bukan hanya tentang tarian, musik, atau cerita. Ia adalah tentang manusia Madura itu sendiri: tentang kerja keras, rasa syukur, kebersamaan, dan kesetiaan pada akar budaya. Menyaksikan Sandur berarti menyelami wajah Madura yang hangat, meriah, dan penuh makna. (*)














