Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.
—–
MADURA adalah fragmen geografis yang kaya sumber daya minyak dan gas bumi (migas). Dari ujung Bangkalan hingga Sumenep, kawasan lepas pantai menjadi wilayah operasi sejumlah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang berkontribusi pada produksi hulu migas Jawa Timur.
Namun ironisnya, keberadaan sumber daya itu belum bermetamorfosa menjadi peningkatan kesejahteraan yang signifikan bagi masyarakat. Fakta empiris menunjukkan disparitas tajam.
Empat kabupaten di Madura justru masuk kategori daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi meski berada di kawasan penghasil migas.
Penyebab utamanya tersembunyi di lembaran hukum negara. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memindahkan kewenangan pengelolaan laut dari kabupaten ke provinsi dan pusat.
Madura kehilangan hak administratif untuk disebut daerah penghasil migas. Akibatnya, daerah ini hanya mendapat sebagian kecil dari hasil kekayaan alam yang diambil dari perut bumi. Sungguh, ironi yang lahir dari kebijakan yang timpang.
Migas diambil, tapi manfaatnya tidak kembali ke masyarakat. Pemerintah kabupaten hanya menjadi penonton. Perusahaan besar bekerja di bawah izin pusat, dan keuntungan mengalir keluar pulau.
Tidak ada industri pengolahan besar di Madura. Tidak ada kilang yang berdiri gagah di tepi pantai. Tidak ada hilir yang menciptakan lapangan kerja.
Semua aktivitas bernilai tinggi berlangsung di luar, sementara Madura hanya mengirimkan bahan mentah.
Akibatnya jelas. Rakyat Madura tidak menikmati hasil kekayaannya. Nelayan kehilangan ruang tangkap karena laut berubah menjadi zona industri. Ekosistem pesisir terganggu. Namun, kompensasi sosial dan ekonomi nyaris tak terlihat.
Dalam situasi seperti ini, keadilan bukan lagi soal moral, tetapi soal kebijakan. Negara seharusnya hadir bukan hanya untuk mengatur eksploitasi, tetapi untuk menjamin pemerataan manfaat.
Pemerintah pusat perlu meninjau ulang formula pembagian hasil migas agar kabupaten pesisir yang terdampak ikut menikmati manfaatnya.
Bukan semata berdasar batas administratif, melainkan juga berdasarkan dampak ekologis dan sosial yang mereka tanggung setiap hari.
Madura juga tidak boleh terus diam. Pemerintah daerah mesti berani memperjuangkan haknya di meja kebijakan. Jangan hanya mengeluh tentang ketidakadilan, tapi dorong lahirnya skema kompensasi lokal.
Perusahaan migas pun perlu membuka mata. Tanggung jawab sosial tidak cukup diukur dari bantuan tempat sampah atau jaket pelampung.
Saat ini yang dibutuhkan adalah investasi nyata. Pelatihan tenaga kerja lokal, pemberdayaan nelayan, dan pembangunan infrastruktur dasar.
Lebih dari itu, Madura harus berpikir jangka panjang. Jika belum ada kilang besar, bangunlah fasilitas pengolahan kecil yang mampu menampung sebagian produksi lokal. Di situlah nilai tambah bisa lahir. Di situlah peluang kerja bisa tumbuh.
Kekayaan alam bukan takdir, tetapi amanah. Migas di perairan Madura seharusnya menjadi jalan pembebasan, bukan jebakan kemiskinan yang terus diwariskan.
Ketika laut terus dieksplorasi, rakyat berhak menuntut kesejahteraan yang setara. Karena laut tidak hanya menyimpan minyak, tetapi juga harapan.
Madura harus berhenti menjadi penonton di rumah sendiri. Sudah cukup lama kekayaan ini mengalir tanpa makna.
Kini waktunya memastikan setiap tetes migas yang diambil dari perut laut membawa kembali kesejahteraan ke darat.
Sebab, keadilan energi bukanlah slogan, melainkan janji yang seharusnya bisa dirasakan oleh mereka yang paling dekat dengan sumbernya. Sekali lagi, maaf. (*)
——-
Penulis juga Ketua Umum Ikatan Alumni Ilmu Kelautan, Universitas Trunojoyo Madura (UTM).