Darurat Militer Atau Darurat Nurani

- Jurnalis

Kamis, 4 September 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pengamat Kebijakan Publik, Fauzi As. (DOK. KLIKMADURA)

Pengamat Kebijakan Publik, Fauzi As. (DOK. KLIKMADURA)

Oleh: Fauzi As, Pengamat Kebijakan Publik.

—-
SEJAK 30 Agustus lalu, gelombang demonstrasi memang mulai mereda. Jalanan tidak lagi dipenuhi api, suara toa pun perlahan menghilang. Tetapi yang tidak pernah padam justru arus framing terhadap TNI.

Potongan video disebar, narasi tendensius dipelintir, seolah-olah TNI berada di balik semua kekacauan.

Padahal faktanya, beberapa jenderal justru proaktif menelpon, meminta bantuan agar situasi tetap kondusif, agar rakyat tidak tersulut emosi. Ironis, di media sosial cerita itu terbalik: seolah demo dimotori TNI.

Isu darurat militer yang digoreng belakangan ini jelas mengada-ada. Bagaimana mungkin TNI – institusi yang lahir dari rahim rakyat, yang darah dan keringatnya bercampur dengan rakyat dalam sejarah perjuangan tiba-tiba dituduh hendak mengkebiri rakyat?

Itu bukan hanya tak masuk akal, tapi penghinaan terhadap sejarah panjang tentara rakyat.

Saya tidak sedang membela TNI membabi buta. Saya pun tidak ingin menyudutkan Polri. Dua-duanya institusi negara yang harus dijaga. Kalau pun ada luka, itu lahir dari oknum, bukan dari seragam.

Namun mari kita jujur: wajah buruk oknum Polri lebih sering muncul ke permukaan, karena mereka tiap hari bersentuhan dengan masyarakat dari kasus hukum, izin, hingga urusan kamtibmas.

Baca juga :  Ternyata Ada!!

Lalu siapa yang mampu bertahan dalam godaan? antara menahan kebutuhan atau memaksimalkan kesempatan? Hanya mereka yang masih punya moralitas yang makin menipis.

Saya ingin mengajak para petinggi bercermin. Para Jenderal, para menteri, tanggalkan ego, lepaskan pangkat, duduklah sejenak sebagai manusia biasa. Tanyakan dari hati: apakah kebijakan yang kalian jalankan sungguh tidak membebani rakyat?

Atau justru menambah luka dengan beban baru?

Aksi demonstrasi, pembakaran kantor, penjarahan rumah pejabat itu bukan ledakan tanpa bara. Di bawahnya ada pajak yang mencekik, lapangan kerja yang langka, harga sembako yang melambung.

Ada ayah yang pulang dengan tangan hampa, merasa gagal memberi makan anaknya. Ada ibu yang menahan tangis karena hutang warung tak kunjung terbayar. Itulah api sesungguhnya, bukan semata provokasi.

Sayangnya, suara itu jarang sampai ke kursi DPR. Ke kursi menteri, gedung megah dan gaji besar seolah menutup telinga mereka. Rakyat dibiarkan sendirian menghadapi prahara.

Saya mau ambil contoh kecil. Di Surabaya, seorang warga Madura hanya mengirim rokok dengan mobil tua. Lima kardus saja.

Baca juga :  Komunikasi Partisipatif Tata Kelola Kota Pamekasan

Hasilnya, ia harus menebus kebebasan dengan Rp50 juta. Bayangkan, seorang miskin dengan mobil karatan dipaksa membayar setara harga rumah sederhana.

Polisi yang menindaknya memakai seragam yang dibeli dari pajak rakyat. Ironi yang pahit: aparat berilmu tinggi dengan gelar doktor, berubah jadi harimau yang memangsa induknya sendiri.

Inilah darurat yang sebenarnya. Bukan darurat militer, melainkan darurat nurani. Darurat empati. Yang absen dari ruang kekuasaan kita bukanlah senjata, melainkan hati. Kalau saya rinci satu persatu dalam setiap markas polri selalu ada rakyat yang jadi korban.

Saya tidak asal tuduh, saya menulis dengan data, dan jika itu saya tulis, mungkin satu bulan saya tidak kehabisan bahan.

Mari kembali pada kewarasan. Rakyat jangan dijejali informasi setengah matang. Polri adalah milik kita bersama, dan TNI adalah rumah rakyat. Jangan biarkan institusi ini diadu-domba demi kepentingan politik sesaat.

Saya ingin mengutip Cicero: “Salus populi suprema lex esto” keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Jika keselamatan rakyat dikorbankan demi ego jabatan, maka institusi sekuat apa pun akan runtuh.

Dulu, di masa Presiden sebelumnya, netizen memplesetkan NKRI menjadi Negara Kepolisian Republik Indonesia. Sebutan itu lahir karena begitu banyak posisi strategis diisi Polri atau purnawirawannya: Tito Karnavian di Kemendagri, Budi Gunawan di BIN, Budi Waseso di Bulog, Iwan Bule di PSSI, dan banyak lagi.

Baca juga :  Korkab: Aktor Utama Kasus BSPS?

Hari ini, obrolan warung kopi justru terbalik. BIN dipimpin purnawirawan TNI, Dirut Bulog Ahmad Rizal Ramdhani juga TNI, Dirjen Bea Cukai pun TNI, dan masih banyak lagi jabatan strategis lain.

Bagi saya, Presiden boleh memilih unsur manapun. Polisi, tentara, sipil, akademisi selama mereka tegak lurus merah putih, bekerja untuk rakyat, tidak ada masalah.

Masalah justru muncul ketika orang-orang yang bermasalah integritasnya dipelihara, dilindungi, bahkan dipromosikan. Di situlah kepercayaan publik runtuh.

Saya tahu tulisan ini berat sebelah, tetapi saya siap jika diundang untuk berdiskusi diruang-ruang terbuka dengan data. Saya anak petani yang hidup di desa yang kadang kebijakan negara enggan untuk menyentuhnya.

Maka sekali lagi: ini bukan darurat militer. Ini darurat nurani. Jika suara rakyat terus diabaikan, jangan salahkan bila suatu hari rakyat benar-benar turun dengan cara yang tak lagi bisa dihentikan oleh sejuta pasukan sekalipun. (*)

Berita Terkait

Ketika Madura Mengajukan Diri Jadi Negara
Rudy Saladin dan Ramalan 2055
Bukan Lagi Soal Sanksi, Ini Soal Budaya Politik
Basmi Rokok Ilegal: Satir untuk Nur Faizin
Bangkalan Darurat Narkoba
Ketika Penis Patung Lebih Berguna daripada Pena Wartawan
Cyber-Utopianisme dan Realitas Generasi Muda
Saya Bukan Pejuang Kebenaran dan Keadilan. Toh Saya Masih Membela Orang Salah

Berita Terkait

Minggu, 5 Oktober 2025 - 13:17 WIB

Ketika Madura Mengajukan Diri Jadi Negara

Rabu, 17 September 2025 - 06:41 WIB

Rudy Saladin dan Ramalan 2055

Kamis, 4 September 2025 - 07:46 WIB

Darurat Militer Atau Darurat Nurani

Minggu, 31 Agustus 2025 - 13:58 WIB

Bukan Lagi Soal Sanksi, Ini Soal Budaya Politik

Jumat, 22 Agustus 2025 - 14:05 WIB

Basmi Rokok Ilegal: Satir untuk Nur Faizin

Berita Terbaru