Oleh: Hambali Rasidi, Jurnalis Senior.
—–
SAYA diminta teman-teman untuk menjawab tulisan Mas Fauzi AS. Katanya saya bloon. Karena saya jujur mengaku pernah menerima duit BSPS. Meski Rp 502.500 dan Rp 2 jt usai bayar konsumsi di Cafe Arina.
Saya berusaha tak mau merespon tulisan Mas Fauzi AS. Teman media tanya responya: saya jawab pointer-pointer.
Lama lama saya terpanggil untuk berkata lebih jujur lagi. Sekalian menjawab tulisan Pemred Klik Madura, Sahabat Prengki Wirananda.
Tulisan ini, semoga mewakilinya:
Saya mau jujur. Berusaha jujur apa adanya. Kalau ada yang bilang Rp 10.500.000 atau Rp 11.000.000. Atau lebih dari itu, saya tak mau jelaskan lewat tulisan ini. Biar saya jelaskan kalau penyidik mengundang saya untuk klarifikasi.
Toh tak perlu dijelaskan publik sudah ngerti; Rp 500 juta tersalur ke oknum wartawan, katanya. Siapa saja yang dapat itu. Kalau Mas Fauzi AS ada catatan dari Kiki, soal yang mengalir ke oknum, tidak apa-apa dibuka.
Sebagian catatan itu, saya dapat dari orang Kiki. Orang itu yang malam hari menemani Kiki usai penggeledahan.
Tulisan ini, saya lebih menekankan pada pribadi saya. Saya tak mau menyinggung siapa-siapa.
Saya mulai tulisan ini:
Saya malu kepada Tuhan. Saya tidak mau sok suci. Saya sudah berlumur dosa. Saya masih hidup dalam lingkungan penuh kepentingan untuk bertahan hidup.
Kalau saya mengaku pejuang kebenaran dan keadilan, berarti saya sedang menipu diri sendiri. Juga menipu Tuhan. Munafik, namanya. Berkedok pejuang. Toh, hati berharap cuan siang malam.
Bukankah pejuang sejati hanya berharap cinta Tuhan? Seperti kata Rabiah Al Adawiyah, pejuang kebenaran itu tak takut neraka. Juga tak berharap surga. Yang diharap Cinta Ilahi.
Karena itu, saya belum layak disebut orang baik. Apalagi disebut suci. Karena saya masih membela orang yang salah. Saya masih berkawan dengan orang yang tidak sempurna. Saya masih mencari makan dari usaha dunia. Saya tidak berhak memakai gelar pejuang sejati.
Tapi justru karena itulah saya berusaha jujur. Biar semua tahu: saya bukan malaikat. Saya tak ingin orang tertipu oleh mulut manis.
Saya lebih suka dihina daripada dipuja-puja. Saya lebih tenang membuka aib sendiri daripada sibuk menutupi aib sendiri, demi penilaian semu.
Saya tidak sedang cari panggung. Saya cari hidup. Dan kebetulan Tuhan memberi jalan hidup saya di pusaran manusia-manusia pencari dunia. Para pecinta dunia. Yang selalu silau terhadap keindahan dunia.
Saya berdiri di tengah ombak yang kadang mengarahkan saya ke kanan, kadang ke kiri. Saya sadar. Karena itu saya malu kepada Tuhan. Karena selalu berbuat salah.
Saya tahu: orang yang zuhud itu tidak sibuk rebutan proyek. Atau mencari cari celah untuk dikonversi ke rupiah. Apalagi membela orang salah.
Saya juga ngerti: orang yang ikhlas itu tidak sibuk cari likes atau sanjungan. Saya belum sampai ke sana. Tapi saya sadar, dan saya sedang berusaha selalu bersyukur. Karena itu, saya lebih suka dihina daripada dipuja-puji.
Soal tuduhan akun TikTok bodong—silakan Mas Fauzi telusuri. Kalau Mas Fauzi AS serius ingin tahu siapa dalangnya, saya bantu. Saya punya teman hacker. Atau Mas Fauzi cari lewat kenalannya di Jogja atau Jakarta.
Terakhir.
Yang saya lakukan cuma satu: Lebih baik saya hina diri sendiri, daripada orang lain memuja saya atas kebohongan.
Toh publik ngerti tak perlu dijelaskan sampai berbusa. Bagaimana cara cari duit dari para pecinta dunia. (*)