Oleh: Abdul Aziz, Aktivis Sosial.
——–
SETIAP tahun, harga pita cukai rokok naik. Katanya demi mengurangi konsumsi rokok dan menambah pendapatan negara. Tapi di lapangan, yang saya lihat justru beda: rokok ilegal makin banyak dan makin mudah dibeli.
Sebagai warga biasa yang melihat langsung kondisi ini, saya merasa kebijakan kenaikan cukai perlu ditinjau ulang.
Memang niatnya baik, tapi dampaknya justru membuat rokok legal jadi makin mahal dan tidak terjangkau bagi masyarakat kecil.
Akhirnya, masyarakat beralih ke rokok ilegal yang harganya lebih murah—meskipun kualitas dan keamanannya tidak jelas.
Masalah ini bukan cuma soal harga. Rokok ilegal juga membuka banyak lapangan kerja, dari produsen rumahan sampai pengecer di jalanan.
Di satu sisi ini menyerap tenaga kerja, tapi di sisi lain negara rugi karena kehilangan pemasukan cukai, dan peredarannya tidak terkontrol.
Saya paham bahwa pemerintah ingin melindungi masyarakat dari bahaya rokok, tapi kalau caranya hanya dengan menaikkan cukai tanpa dibarengi pengawasan yang ketat, maka rokok ilegal akan terus tumbuh subur.
Menurut saya, harus ada keseimbangan. Negara tetap bisa mengatur cukai rokok, tapi juga perlu memperkuat pengawasan, memberdayakan petani dan pelaku usaha kecil di sektor tembakau, serta melakukan edukasi publik.
Jika tidak, yang terjadi adalah masyarakat jadi korban dua kali: kehilangan akses rokok legal dan terjebak produk ilegal yang tidak terjamin.
Untuk menghadapi mahalnya tarif cukai, pemerintah perlu mempertimbangkan sistem cukai yang lebih adil, misalnya dengan memberikan keringanan atau skema khusus bagi industri rokok lokal skala kecil dan menengah.
Dengan begitu, para pelaku usaha lokal tidak tersingkir oleh pasar besar atau malah tergoda masuk ke jalur ilegal.
Selain itu, pemberdayaan petani tembakau lokal melalui pelatihan, subsidi pupuk, dan kemitraan yang sehat juga sangat penting agar rantai produksi tetap berjalan dan ekonomi daerah tidak mati suri.
Sebagai rakyat kecil, saya hanya berharap kebijakan dibuat dengan melihat realita di bawah, bukan hanya dari angka di atas kertas. (*)