Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura
—–
NEGARA ini pandai menghitung, tapi sering lupa merasakan. Di ruang-ruang rapat kementerian, angka-angka berseliweran. Target penerimaan, grafik pertumbuhan, tren konsumsi, dan tabel produksi.
Namun di balik angka-angka itu, ada denyut yang tak pernah masuk dalam laporan keuangan negara. Denyut itu bernama Madura.
Di pulau ini, rokok bukan sekadar barang konsumsi. Ia adalah simbol penghidupan, ruang napas ekonomi rakyat kecil. Di balik sebatang rokok kretek yang mengepul pelan, tersimpan ribuan cerita manusia.
Ada ibu-ibu yang menempelkan kertas bungkus dengan setrika, bapak-bapak yang melinting tembakau di serambi rumah, dan anak-anak yang tetap bisa sekolah berkat upah dari lintingan tangan itu. Semua dilakukan manual, dengan kesabaran yang bahkan tak bisa ditiru mesin pabrikan modern.
Namun, di mata kebijakan fiskal, semua disamaratakan. Pabrikan Madura diperlakukan sama dengan pabrikan besar yang secara keseluruhan menggunakan mesin.
Padahal, 98 persen industri rokok di Madura masih beroperasi secara manual. Hanya sebagian kecil tahap linting yang memakai mesin.
Tetapi aturan yang berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, lahir dari paradigma industri besar. Seragam, mekanistik, dan abai terhadap realitas sosial yang hidup di pinggiran.
Padahal, cukai sejatinya bukan sekadar alat pungut pajak, melainkan instrumen keadilan ekonomi. Dalam teori ekonomi publik, pajak yang baik ialah pajak yang memperhatikan ability to pay dan equity principle. Yaitu, kemampuan dan keadilan dalam membayar.
Namun dalam praktiknya, dimensi keadilan itu sering menguap di udara. Ketika tarif disamaratakan tanpa memperhitungkan kapasitas dan teknologi, maka yang tertinggal bukan keseimbangan, melainkan ketimpangan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97 Tahun 2024 mencatat, tarif cukai untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan I mencapai Rp1.231 per batang.
Sedangkan golongan II sekitar Rp746 per batanh. Untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang sepenuhnya manual, tarifnya Rp378 per batang.
Di antara dua dunia itulah Madura berdiri, bukan mesin sepenuhnya, tapi juga bukan tradisional murni. Mereka adalah industri transisi, semi manual, berjiwa kerajinan, dan menghasilkan cita rasa khas yang tak tergantikan.
Sayangnya, kategori “semi-manual” itu tidak diakui oleh negara. Dalam sistem cukai nasional, mereka tidak punya kelas. Akibatnya, terjepit di antara dua ekstrem.
Yakni, tidak cukup besar untuk tarif tinggi, tapi juga tidak cukup kecil untuk menikmati perlindungan pabrikan mikro. Negara ingin mereka patuh, tetapi jalan menuju kepatuhan itu terlalu mahal dan terlalu berliku.
Administrasi pengurusan izin cukai, seperti Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC), bisa memakan waktu berbulan-bulan karena tumpukan birokrasi.
Dalam terminologi ekonomi kelembagaan, negara hadir tapi tak berfungsi penuh. The state is visible, but not functional.
Di sinilah keadilan fiskal diuji. Madura membutuhkan kebijakan yang berpijak pada realitas sosial, bukan semata kalkulasi fiskal. Pemerintah dapat menetapkan pita cukai kelas tiga, dengan tarif moderat di kisaran Rp400–Rp500 per batang.
Ini bukan bentuk keringanan, melainkan penyesuaian logis yang mengakui struktur produksi khas Madura. Sebuah langkah kecil yang bisa menumbuhkan kepatuhan besar.
Sebagian pihak berpendapat, solusi untuk menghidupkan industri tembakau Madura adalah dengan menjadikannya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tembakau. Namun, ide itu justru mengandung risiko sosial dan politik yang tidak kecil.
Madura tidak butuh status KEK untuk bangkit, karena status istimewa justru bisa memunculkan kecemburuan antar daerah penghasil tembakau lainnya seperti Jember, Temanggung, Bojonegoro, Bondowoso, dan Lombok Timur.
Jika Madura ditetapkan sebagai KEK Tembakau, maka secara politis daerah-daerah tersebut akan menuntut perlakuan serupa.
Resistensinya tinggi, karena setiap daerah memiliki identitas dan kontribusi ekonomi yang berbeda terhadap industri tembakau nasional.
Selain itu, pengalaman dari beberapa KEK lain menunjukkan bahwa perubahan status administratif tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Banyak KEK di Indonesia yang justru stagnan karena problem kelembagaan, tumpang tindih regulasi, dan minimnya infrastruktur penunjang.
Hasil kajian Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (2022) menunjukkan bahwa keberhasilan kawasan industri bukan ditentukan oleh status hukumnya, melainkan oleh kesesuaian kebijakan fiskal dan struktur sosial ekonomi lokal.
Artinya, penetapan tarif cukai yang proporsional jauh lebih relevan daripada status kawasan istimewa. Pemberlakuan tarif cukai kelas tiga adalah langkah paling realistis dan adil.
Pertama, kebijakan ini akan mendorong kepatuhan fiskal tanpa mematikan industri kecil. Kedua, kebijakan ini bisa menjaga keberlanjutan lapangan kerja lokal, terutama bagi ribuan perempuan pekerja linting di Madura.
Ketiga, secara makro, penyesuaian tarif ini akan meningkatkan penerimaan negara secara jangka panjang, karena industri kecil yang hidup dan patuh jauh lebih produktif dibanding industri mati yang tidak bisa dipungut cukai sama sekali.
Dalam jurnal International Journal of Fiscal Policy Studies (2023), disebutkan bahwa kebijakan fiskal yang inklusif terhadap industri mikro terbukti meningkatkan tax compliance rate hingga 34 persen tanpa menurunkan penerimaan total negara.
Dengan kata lain, menurunkan beban bukan berarti menurunkan pendapatan, justru memperluas basis ekonomi yang legal dan sehat.
Madura tidak menolak aturan, tidak juga menolak cukai. Mereka hanya meminta agar kebijakan itu bisa dipatuhi tanpa harus mematikan diri sendiri. Bagaimana mungkin industri kecil bertahan kalau mereka dipaksa bersaing dengan mesin yang tak pernah tidur?
Di Madura, tembakau bukan sekadar tanaman ekonomi, tapi sistem kehidupan. Ketika panen, uang berputar di desa. Ketika lintingan berhenti, ekonomi desa pun ikut sekarat. Di sini, ekonomi rakyat bukan trickle down economy, tapi grassroot economy. Yakni, tumbuh dari bawah, dari keringat dan tangan manusia.
Secara hukum, ruang untuk bertindak itu ada. Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Cukai memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan tarif berdasarkan golongan produksi.
Artinya, kelas cukai baru dapat diatur tanpa harus mengubah undang-undang, cukup melalui Peraturan Menteri Keuangan yang progresif.
Negara hanya perlu sedikit keberanian dan kepekaan sosial untuk mengakui bahwa tidak semua industri lahir dari mesin, dan tidak semua pekerja dapat diukur dengan angka efisiensi.
Dalam ilmu kebijakan publik, kebijakan yang baik bukan yang keras, tetapi yang cerdas. Negara disebut bijak bukan karena mampu memungut banyak, melainkan karena mampu memungut dengan adil.
Keadilan fiskal tidak lahir dari rumus, melainkan dari keberanian menyeimbangkan penerimaan dengan keberlanjutan ekonomi rakyat. Madura tidak menuntut istimewa.
Mereka hanya ingin diakui sebagai bagian dari bangsa yang bekerja dengan tangan sendiri. Jika negara memberi ruang bagi pabrikan besar tumbuh dengan insentif, mengapa industri kecil Madura tidak bisa mendapatkan ruang hidup yang sama?
Rokok Madura memang kecil dalam angka statistik, tetapi besar dalam makna sosial. Di setiap batang lintingan itu, tersimpan doa agar negara tak lupa pada rakyatnya sendiri.
Jika keadilan fiskal adalah bukti hadirnya negara, maka biarlah kehadiran itu terasa di tangan-tangan yang melinting tembakau setiap pagi.
Sebab kesejahteraan bukan diukur dari seberapa banyak negara memungut, melainkan seberapa lama rakyat bisa terus hidup dari keringatnya sendiri. Maaf. (*)