Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura
—-
AYA tidak pernah membayangkan, kota kecil ini—yang dalam banyak buku digambarkan sebagai kota budaya, kota santri, kota keris—ternyata menyimpan api dalam sekam.
Api yang membakar senyap dari dalam. Tidak terlihat, tapi menyengat. Bau asapnya kini mulai terasa: amis, anyir, dan memuakkan.
Ini bukan hanya soal uang. Bukan hanya perkara teknis. Ini tentang runtuhnya moral yang menjadi fondasi dari bangunan megah bernama demokrasi.
Kasus dugaan korupsi dana Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Kabupaten Sumenep, Madura, adalah luka yang terbuka. Bukan sekadar luka gores di kulit, tapi seperti pembuluh arteri yang terputus—mengucurkan darah dan menyingkap borok yang lama disembunyikan.
Borok ini bernama kongkalikong. Bayangkan saja. Dalam skema bantuan yang sejatinya dirancang untuk rakyat miskin—rakyat yang tinggal di rumah reyot, berlantai tanah, berdinding papan lapuk—uang itu justru berhenti di meja-meja kekuasaan. Meja birokrat. Meja wakil rakyat. Meja oknum aparat penegak hukum. Bahkan meja jurnalis dan LSM.
Rizky Pratama, Koordinator Tenaga Fasilitator Lapangan BSPS, seperti gladiator yang membuka tabir kebenaran di tengah arena.
Tanpa tameng, ia berdiri di hadapan publik dan menyebut satu per satu nama yang selama ini hanya disebut dalam bisik-bisik.
Nama-nama itu, yang selama ini dianggap suci dan menjadi penjaga moral, ternyata ikut menikmati remah-remah uang haram.
Dahulu, bangsa Romawi mengenal sebuah istilah: Mos Maiorum. Artinya, adat dan norma leluhur. Ini bukan hukum tertulis, melainkan moral tak kasat mata yang lebih kuat dari undang-undang.
Seorang senator Romawi yang melanggar Mos Maiorum tidak perlu menunggu keputusan pengadilan. Ia cukup menundukkan kepala, mengambil pedangnya sendiri, dan mengakhiri hidupnya sebagai bentuk tanggung jawab.
Tapi di Sumenep, para penyimpang norma tak kunjung menunduk. Mereka justru saling menyembunyikan. Saling melindungi. Mereka bersembunyi di balik jabatan, kekuasaan, dan simbol kehormatan palsu.
Kita patut bertanya: ke mana perginya empat pilar demokrasi? Eksekutif yang seharusnya menjadi eksekutor kebijakan rakyat ikut mencicipi. Legislatif yang tugasnya mengawasi ternyata ikut menyaksikan sambil menadahkan tangan.
Yudikatif, bahkan oknum di dalamnya, diduga menjadi bagian dari skema pembiaran yang juga menikmati uang berkedok pengamanan.
Dan, media yang mestinya menjadi mata dan telinga publik disebut juga juga menikmati lembar-lembar rupiah hasil korupsi.
Pilar itu kini tinggal serpihan. Seperti reruntuhan Forum Romawi kuno yang agung, yang kini hanya menjadi batu berserakan untuk dikunjungi turis.
Saya menulis ini dalam kondisi hati yang campur aduk. Antara marah, muak, dan sedih. Di satu sisi, saya ingin percaya bahwa masih ada pejabat jujur.
Masih ada anggota dewan yang benar-benar menjadi kontrol. Tapi di sisi lain, kenyataan seperti mengguyur saya dengan air garam ke luka terbuka: perih.
Saya teringat kisah penaklukan Julius Caesar atas Galia. Ketika pasukan Romawi mengepung Alesia, mereka membangun dua lapis tembok.
Tembok pertama menghadap ke dalam, untuk mengepung musuh. Tembok kedua menghadap ke luar, untuk melindungi dari bantuan luar.
Tapi, begitu tembok itu jebol, keruntuhan Romawi bukan datang dari luar, melainkan dari dalam. Pengkhianatan, korupsi, dan kerakusan pejabat publik lebih merusak dari serangan musuh mana pun.
Sumenep sedang menghadapi momen “Alesia”-nya. Tidak ada bangsa asing yang menyerang. Tidak ada bendera merah di ufuk. Tapi kehancuran itu nyata. Runtuhnya kepercayaan publik. Runtuhnya harapan.
BSPS seharusnya menjadi program harapan. Program yang lahir dari kepedulian negara terhadap warganya yang belum punya rumah layak.
Tapi dalam implementasinya, program ini seperti sapi perah. Setiap instansi dan oknum merasa berhak menyedot susunya, tanpa peduli siapa yang kelaparan.
Modusnya klise, tapi tetap berhasil. Pemotongan dana. Setoran proyek. Uang terima kasih. Komisi. Sebuah rumah yang seharusnya bisa direnovasi dengan Rp20 juta, nyatanya hanya mendapat jatah material senilai separuhnya. Sisanya? Menguap ke saku-saku kekuasaan.
Dan parahnya, praktik ini dilakukan secara sistematis. Seolah menjadi ladanb basah untuk dinikmati bersama. Ini bukan sekadar korupsi. Ini state capture. Para elite yang saling tawan. Saling mengunci satu sama lain.
Seorang filsuf politik, Hannah Arendt, pernah menulis: “The most radical revolutionary will become a conservative the day after the revolution.” Kalimat ini menjadi nyata di Sumenep.
Mereka yang dulu berteriak reformasi, kini justru duduk di kursi empuk kekuasaan sambil menghitung amplop. Mereka yang dulu menulis kebenaran, kini justru sibuk membuat narasi pembenaran.
Apa yang kita perlukan sekarang bukan hanya penegakan hukum. Tapi revolusi mental. Kita butuh orang-orang yang berani berdiri di tengah arus. Yang siap disebut gila, siap dijauhi, bahkan siap kehilangan jabatan, demi satu kata: kebenaran.
Saya akhiri tulisan ini dengan satu renungan: Jika demokrasi adalah rumah, maka pilar-pilarnya adalah kepercayaan, moral, integritas, dan keberanian. Jika satu saja dari pilar itu runtuh, rumah ini akan roboh. Dan kita semua akan tertimpa puing-puingnya.
Sumenep sedang roboh. Dan, jika kita tidak segera membangunnya kembali—dengan bahan baku yang lebih kuat: transparansi, akuntabilitas, dan keberanian—maka kita akan hidup di reruntuhan demokrasi. Tanpa harapan. Tanpa masa depan. (*)