Menerka Suasana Kebatinan Pak Dahlan Iskan

- Jurnalis

Rabu, 9 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.

——

AYA terperanjat ketika membaca kabar bahwa Pak Dahlan Iskan ditetapkan sebagai tersangka.
Bukan sekali ini beliau berhadapan dengan hukum. Tapi kali ini terasa berbeda. Lebih getir. Lebih ironis.

Dugaan pemalsuan surat. Penggelapan jabatan. Bahkan, tindak pidana pencucian uang. Kasus yang bermula dari laporan direksi Jawa Pos pada 2024 lalu. Senin, 7 Juli 2025, status itu resmi disematkan: tersangka.

Nama besar Dahlan Iskan — urat nadi Jawa Pos, ikon keberanian media — kini kembali digiring ke ruang yang tak lagi ramah: meja hijau.

Saya masih ingat kasus 2016. Kala itu, beliau ditahan oleh Kejati Jatim dalam kapasitasnya sebagai mantan Dirut PT Panca Wira Usaha. Saya masih jurnalis muda di Jawa Pos Group. Suasana kantor saat itu defensif. Semua serba hati-hati. Maklum, sang nakhoda sedang diguncang badai.

Namun, apa yang terjadi 9 tahun lalu, bagaimanapun, akhirnya saya anggap sebagai jembatan. Jalan sempit yang memang harus dilalui seorang tokoh besar. Dalam literatur sosiologi, Max Weber menyebutnya sebagai trial of charisma — ujian yang tak bisa dihindari oleh pemimpin karismatik.

Baca juga :  Perang Para Begawan

Tapi yang kali ini terasa lain. Lebih menyayat. Pasalnya, pintu masuk kasus ini adalah kepemilikan saham Tabloid Nyata.
Pelapornya bukan orang jauh. Tapi direksi Jawa Pos. Perusahaan yang dulu ia bangun dari nol. Dari sekadar idealisme, hingga menjelma kerajaan media.

Bayangkan luka itu, perusahaan yang dulu dicintai sepenuh hati, kini berubah menjadi lawan di pengadilan. Jika dulu kantor itu adalah rumah, kini ia menjadi keranda.

Saya tak bisa sepenuhnya menebak suasana kebatinan beliau hari ini. Tapi satu kata pasti, kecewa. Kecewa yang menyesak, mungkin lebih menyakitkan daripada operasi hati yang pernah ia jalani di Tianjin, Tiongkok, dua dekade lalu. Luka batin, kata psikolog Viktor Frankl, seringkali lebih sulit disembuhkan daripada luka fisik.

Baca juga :  Migas Madura, Potensi dalam Kebiri Regulasi

Hukum sendiri, sebagaimana pernah diulas Roscoe Pound, “bukan sekadar kumpulan aturan, tapi alat rekayasa sosial.” Jika benar demikian, maka kasus ini bukan hanya soal benar atau salah secara hukum, tapi juga tentang bagaimana hukum dipakai sebagai arena perebutan makna dan kuasa.

Saya pribadi pernah merasakan sepotong rasa itu. Saat memberi segalanya untuk sebuah perusahaan, lalu tergelincir oleh kerikil kecil, saya harus pergi dari istana yang saya bangun. Bedanya, saya hanya seorang pejuang. Sedang Pak DI? Dia bukan sekadar pejuang. Dia urat nadi.

Seperti kata Max Wangkar pada 2001:
“Jawa Pos adalah Dahlan Iskan, dan Dahlan Iskan adalah Jawa Pos.”

Kini, keduanya saling berhadapan. Bukan lagi di meja makan yang penuh tawa. Tapi di meja hijau, dingin, kaku, dan berjarak.

Barangkali, jika ia tahu perusahaan yang lahir dari rahim idealismenya itu kelak menjadi pintu masuk jerat hukum, ia tidak akan menyerahkan masa mudanya sepenuh tenaga. Barangkali ia akan menyesal pernah menukar kesehatan, hati, dan waktunya demi membesarkan rumah yang kini menolaknya.

Baca juga :  Duduki Jabatan Kapolres Sampang, AKBP Hartono Disambut Pedang Pora

Dan, inilah tragedi terbesar seorang pendiri: ketika warisan yang ia bangun dengan cinta berubah menjadi arena sengketa.

Filsuf Hegel pernah menulis, “Sejarah berulang dua kali: pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon.” Yang menimpa Dahlan Iskan hari ini adalah tragedi kedua. Tapi tentu, tak ada yang menganggapnya lucu.

Sungguh, tak ada yang bisa menggambarkan seberapa dalam luka hati seorang Dahlan Iskan hari ini. Dan mungkin, hanya ia sendiri yang benar-benar tahu, bagaimana rasanya ditikam oleh rumah yang pernah ia sebut cinta.

Pada akhirnya, kisah ini adalah cermin pahit bagi kita semua, bahwa loyalitas tidak selalu dibayar dengan kesetiaan. Bahwa kuasa bisa merubah cinta menjadi sengketa.

Dan bahwa pendiri, betapapun besar jasanya, seringkali menjadi orang pertama yang disingkirkan oleh sejarah. (*)

Berita Terkait

Kongres AJP: Habis Gaduh Terbitlah Teduh
Valen dan Pertaruhan Harga Diri
Menghidupkan Kembali Asa UNU Madura
Satu Fikrah, Satu Harakah: Momentum Meneguhkan Arah Perjuangan NU Sumenep
Ketika Kades Tak Lagi PERKASA
Madura Surganya Energi Baru Terbarukan
Saatnya Madura Menatap Energi Baru
Saatnya Kangean Pulih dari Luka Eksploitasi

Berita Terkait

Sabtu, 20 Desember 2025 - 13:22 WIB

Kongres AJP: Habis Gaduh Terbitlah Teduh

Kamis, 18 Desember 2025 - 02:29 WIB

Valen dan Pertaruhan Harga Diri

Jumat, 12 Desember 2025 - 13:27 WIB

Menghidupkan Kembali Asa UNU Madura

Rabu, 26 November 2025 - 03:51 WIB

Satu Fikrah, Satu Harakah: Momentum Meneguhkan Arah Perjuangan NU Sumenep

Rabu, 12 November 2025 - 04:09 WIB

Ketika Kades Tak Lagi PERKASA

Berita Terbaru

Catatan Pena

Kongres AJP: Habis Gaduh Terbitlah Teduh

Sabtu, 20 Des 2025 - 13:22 WIB