Oleh: Fahad Mubarok AA, Mahasiswa Institut Bahri Asyiq.
—–
BELAKANGAN ini, isu megathrust menjadi trending topik setelah adanya sorotan dari Komisi VIII DPR RI tentang 14 zona merah megathrust. Salah satunya, berada didaerah Jawa Timur dan mendesak kesiagaan nasional sehingga banyak dibicarakan di media dan masyarakat.
Megathrust adalah potensi gempa besar yang terjadi akibat pergeseran lempeng bumi di dasar laut. Indonesia sebagai negara yang berada di wilayah cincin api yang memiliki risiko tinggi terhadap gempa dan bencana alam. Isu ini tentu menimbulkan kekhawatiran, namun juga perlu dipahami secara lebih bijak.
Dalam sejarah filsafat alam, para filsuf Pra-Sokrates seperti Thales, Anaximandros, dan Herakleitos memandang alam sebagai prinsip dasar kehidupan. Thales meyakini bahwa segala sesuatu berasal dari air, sementara Anaximandros berbicara tentang apeiron, sesuatu yang tak terbatas dan melampaui kemampuan manusia.
Pandangan ini menunjukkan bahwa sejak awal filsafat, alam tidak pernah diposisikan sebagai objek yang sepenuhnya bisa dikendalikan manusia, melainkan sebagai realitas besar yang memiliki hukum sendiri.
Isu megathrust menunjukkan bahwa meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, manusia tetap memiliki keterbatasan.
Kita bisa mempelajari dan memperkirakan potensi gempa, tetapi tidak bisa menentukan secara pasti kapan gempa itu akan terjadi. Hal ini sejalan dengan pemikiran filsafat alam yang menekankan bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari alam semesta.
Herakleitos menyatakan bahwa alam selalu berubah (panta rhei). Megathrust sebagai proses geologis yang berlangsung sangat lama mencerminkan perubahan tersebut. Gempa besar bukanlah kejadian tiba-tiba tanpa sebab, melainkan hasil dari pergerakan alam yang terus terjadi.
Dengan memahami hal ini, kita bisa melihat bencana alam sebagai bagian dari proses alam, bukan sematamata musibah yang datang tanpa makna. Isu megathrust ini seharusnya dapat menjadi bahan refleksi.
Kita sebagai manusia diajak untuk lebih menghargai alam dan tidak merusaknya. Kerusakan lingkungan justru dapat memperparah dampak bencana yang terjadi. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memiliki kesadaran bahwa menjaga alam berarti menjaga kehidupan manusia itu sendiri.
Kesimpulannya, megathrust bukan hanya persoalan geologi, tetapi juga persoalan sikap manusia terhadap alam. Filsafat alam mengajarkan kita untuk bersikap rendah hati, tafakur, dan hidup selaras dengan alam.
Dengan pemahaman ini, kita tidak hanya belajar tentang bencana, tetapi juga belajar menjadi manusia yang lebih bijak dalam hidup berdampingan dengan alam. (*)














