Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.
—-
MADURA hidup di antara dua kenyataan yang saling bertolak belakang. Di atas permukaan, masyarakat berjuang di tengah belenggu kemiskinan.
Di bawah tanah, minyak dan gas bumi disedot tanpa henti, dialirkan melalui pipa baja menuju daratan besar. Dua dunia ini berdiri berdekatan, tetapi tak pernah bersentuhan.
Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur pada 2024 mencatat empat kabupaten di Madura tetap menjadi kantong kemiskinan terbesar di provinsi ini.
Sampang memiliki tingkat kemiskinan 20,83 persen, Bangkalan 18,66 persen, Sumenep 17,78 persen, dan Pamekasan 13,41 persen.
Angka itu menunjukkan bahwa kekayaan sumber daya alam tidak berjalan seiring dengan kesejahteraan masyarakat. Tiga daerah penghasil migas justru menjadi wilayah dengan jeratan kemiskinan ekstrem.
Secara ilmiah, fenomena ini dijelaskan dalam teori natural resource trap. Teori yang menggambarkan jebakan ekonomi bagi suatu daerah kaya sumber daya alam tetapi pengelolaannya tidak diiringi diversifikasi ekonomi dan peningkatan kapasitas manusia.
Kekayaan alam yang seharusnya menjadi modal pembangunan justru berubah menjadi pengekang pertumbuhan sosial. Madura terjebak dalam model eksploitasi tanpa transformasi.
Migas menghasilkan angka produksi yang mengesankan, tetapi gagal menggerakkan ekonomi rakyat. Masalah lain muncul dalam bentuk ketimpangan manfaat.
Asymmetric benefit theory menjelaskan bahwa dalam proyek ekstraksi sumber daya, keuntungan terbesar mengalir ke pemilik modal dan pusat kekuasaan, sementara masyarakat lokal menanggung beban sosial dan ekologis.
Nelayan Madura kehilangan ruang tangkap. Akses mereka ke laut dibatasi oleh zona industri. Ketika perusahaan memperluas wilayah kerja, produktivitas tangkapan ikan menurun drastis. Pendapatan nelayan merosot, sementara biaya operasional meningkat.
Industri migas di Madura bekerja seperti pulau ekonomi yang terisolasi. Para ekonom menyebutnya enclave economy, sebuah sistem produksi yang nyaris tanpa keterkaitan dengan kehidupan masyarakat sekitar.
Tenaga kerja lokal tidak terserap secara signifikan. UMKM di sekitar proyek tidak memperoleh efek berganda. Pendapatan daerah yang dihasilkan pun lebih banyak digunakan untuk belanja rutin, bukan investasi sosial.
Aliran uang besar berhenti di lingkaran elite birokrasi, tidak menetes ke dapur nelayan dan petani. Kemiskinan hingga gizi buruk bukan hanya dongeng pengantar tidur. Tapi, kisah nyata di Pulau Madura.
Secara struktural, pengelolaan migas di Madura memperlihatkan kegagalan tata kelola yang berpihak. Pemerintah daerah seringkali menjadi penonton yang bangga karena wilayahnya disebut penghasil energi.
Namun, kebijakan yang mendorong keterlibatan masyarakat lokal nyaris tidak ada. Tidak ada kewajiban tegas bagi perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja lokal.
Tidak ada pula kewajiban bagi perusahaan membangun pusat pelatihan vokasi, atau mendukung ekonomi pesisir melalui program pemberdayaan berkelanjutan.
Kesenjangan antara industri dan rakyat semakin lebar. Infrastruktur tumbuh di sekitar proyek, bukan di sekitar manusia.
Pola ini oleh para peneliti disebut developmental asymmetry. Yakni, pertumbuhan yang timpang antara sektor kapital dan kesejahteraan sosial.
Madura tidak miskin karena kekurangan sumber daya. Melainkan, karena gagal memanfaatkan kekayaan alam untuk membangun kapasitas manusia.
Migas hanya menjadi angka dalam laporan, bukan tenaga dalam kehidupan masyarakat. Ketika perekonomian lokal bergantung pada industri ekstraktif tanpa keterlibatan sosial, kesejahteraan berubah menjadi ilusi yang jauh dari kenyataan.
Pemerintah daerah harus berani mengubah arah kebijakan. Migas harus menjadi instrumen pembangunan manusia, bukan sekadar komoditas fiskal.
Setiap meter kubik gas yang disedot dari perut bumi semestinya dikonversi menjadi beasiswa, sekolah kejuruan, pelatihan nelayan, dan penguatan UMKM pesisir.
Energi sejati bukan hanya yang menghidupkan mesin, tetapi yang menyalakan harapan rakyat.
Selama kebijakan tetap berpihak pada pipa bukan pada manusia, Madura akan terus menjadi pulau yang kaya secara geologi namun rakyatnya miskin secara ekonomi. Maaf. (*)
——
Penulis juga Ketua Umum Ikatan Alumni Ilmu Kelautan, Universitas Trunojoyo Madura (UTM).