Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.
——–
MADURA bukan hanya pulau dengan budaya dan sejarah, tetapi pusat tembakau yang punya kapasitas ekonomi strategis. Daun tembakau dari Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep telah lama menjadi komoditas unggulan yang menopang industri rokok lokal.
Petani mendapat penghasilan, pabrik menyerap tenaga kerja, dan ratusan ribu orang terlibat dalam rantai produksi tembakau. Namun, kebijakan tarif pita cukai yang dipukul rata untuk semua jenis dan skala pabrik rokok mengancam keberlangsungan industri ini.
Kebijakan itu membuat pabrik-pabrik lokal di Madura kehilangan daya saing, banyak yang terdorong ke produksi ilegal, dan petani serta buruh menderita akibat ketidakpastian pasar dan pendapatan.
Data ekonomis menunjukkan Madura masih menghadapi tantangan struktural. Berdasarkan data BPS Jatim per Maret 2024, persentase kemiskinan masih sangat tinggi. Sampang sekitar 20,83%, Bangkalan 18,66%, Sumenep 17,78%, dan Pamekasan 13,41%.
Angka-angka ini jauh di atas rata-rata provinsi dan nasional. Kualitas hidup dan pendidikan, tercermin dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), juga masih tertinggal dibanding daerah lain di Jawa Timur. Pengangguran menyimpan potensi sosial-ekonomi tinggi ketika industri lokal melemah.
Tarif cukai rokok berdasarkan PMK terbaru (PMK 96/2024 & PMK 97/2024) telah ditetapkan untuk berbagai golongan produk hasil tembakau. Yakni, SKM, SKT, SPM, rokok daun, cerutu. Pada 2025, tarif cukai SKM golongan I misalnya mencapai Rp 1.231 per batang dengan Harga Jual Eceran (HJE) minimal Rp 2.375.
Tarif-tarif ini membuat pabrik kecil harus menjual produk mereka dengan margin tipis, apalagi bila dibandingkan dengan perusahaan besar yang bisa menekan biaya operasional lebih baik.
Menariknya, pemerintah melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah menyatakan bahwa tarif cukai rokok tidak akan dinaikkan pada 2026. Tetapi keputusan ini meskipun penting, adalah langkah sementara.
Tidak menaikkan tarif saja tidak cukup jika struktur tarif tetap tidak proporsional dan tidak memperhitungkan skala dan kapasitas produksi. Jika pabrik kecil tetap dipaksa menanggung cukai setara pabrik besar, maka tetap akan ada kerugian struktural.
Di sinilah muncul urgensi menjadikan Madura sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tembakau. Status KEK akan memberikan kerangka regulasi berbeda. Tarif pita cukai dapat didesain lebih murah untuk industri lokal dengan kapasitas produksi skala kecil hingga menengah, sementara perusahaan besar tetap mengikuti skala cukai yang berlaku nasional.
Dengan pendekatan diferensiasi semacam ini, industri rokok lokal di Madura akan memiliki ruang bernapas ekonomi: mampu tetap legal, menjaga kualitas, dan menyerap tenaga kerja.
Beberapa fakta pendukung menunjukkan bahwa penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) di Madura sudah ada dan dapat menjadi modal penting dalam kerangka KEK. Misalnya, Bangkalan memperoleh DBHCHT tahun 2025 sebesar sekitar Rp 32 miliar (naik dari Rp 26 miliar pada tahun sebelumnya) yang dianggarkan untuk pertanian, pembinaan industri, termasuk petani tembakau.
Sampang mengalokasikan sekitar Rp 50 miliar DBHCHT pada 2023, di mana sekitar 20% dipakai untuk peningkatan kualitas bahan baku dan peningkatan keterampilan kerja. Pemerintah Kabupaten Sumenep juga sudah menggunakan DBHCHT untuk Bantuan Langsung Tunai kepada buruh pabrik rokok dan buruh tani tembakau — ribuan orang menerima bantuan sebagai kompensasi atas dampak ekonomi.
Pemerintah pusat dan pemangku kepentingan sudah mulai mendengar keluhan industri kecil. DPD RI, lewat AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mendukung ide tarif cukai Golongan III SKM yang khusus diberikan kepada industri rokok skala kecil, agar mereka tidak terbebani pita cukai dan PPN yang tinggi.
Pelaku industri rokok kecil juga mengingatkan risiko simplifikasi struktur tarif cukai jika tidak sensitif terhadap industri kecil: adanya kekhawatiran bahwa penyederhanaan tarif justru menaikkan beban bagi yang kecil, bukan hanya menyederhanakan regulasi.
Bayangkan jika Madura berstatus KEK Tembakau. Tarif pita cukai untuk pabrik lokal skala kecil bisa ditetapkan jauh lebih murah, misalnya kelas khusus di bawah Golongan III SKM atau SKT, dengan ambang produksi dan harga jual yang disepakati dalam regulasi KEK.
Produk legal akan menjadi pilihan lebih menarik dibanding rokok ilegal, karena selisih harga tidak terlalu besar. Petani mendapat kepastian pasar, buruh tetap bekerja, dan pendapatan daerah meningkat melalui DBHCHT yang lebih produktif digunakan untuk kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur usaha tembakau.
Selain itu, status KEK membuka kemungkinan insentif tambahan seperti fasilitas ketenagakerjaan, kemudahan perizinan, fasilitas riset dan laboratorium pengujian kadar tar dan nikotin lokal, pembinaan varietas tembakau unggul, bantuan teknologi pasca panen. Semua itu bisa dilakukan dengan dukungan dana DBHCHT dan sokongan regulasi dari pemerintah pusat.
Kebijakan tidak menaikkan tarif cukai 2026 adalah sinyal positif dari Menteri Keuangan Purbaya, tetapi belum menyelesaikan persoalan utama: struktur tarif yang masih menyulitkan industri kecil.
Jika KEK Tembakau tidak segera diwujudkan, banyak pabrik lokal yang akan terus berada di garis tipis antara usaha legal dan ilegal, antara keuntungan minimal dan kerugian, dan antara harapan masyarakat dan kehancuran ekonomi lokal.
Madura bukan meminta kemudahan yang melanggar hukum, melainkan pengakuan bahwa realitas ekonomi lokal berbeda. KEK Tembakau akan menjadi platform keadilan fiskal, di mana tarif pita cukai murah untuk industri skala lokal bukan sekadar impian, tapi praktik yang diorganisasi dengan regulasi dan data.
Pemerintah pusat harus ambil langkah konkret. Regulasi KEK Tembakau, diferensiasi cukai berdasarkan skala, jaminan penggunaan DBHCHT yang transparan dan tepat sasaran serta pengawasan terhadap rokok ilegal harus diterapkan secara serius.
Jika semua unsur, mulai dari petani, pabrik lokal, pemerintah daerah dan akademisi bersinergi, maka kesejahteraan masyarakat Madura tidak lagi sekadar kata, tetapi fakta: petani yang punya pendapatan stabil, buruh yang tetap bekerja, harga legal yang terjangkau, daerah yang berkembang.
KEK Tembakau adalah langkah ilmiah-populer dan praktis yang menuntut keberpihakan terhadap Madura agar tarif pita cukai tidak mematikan, tetapi mendukung. Semoga pemerintah mendengarkan keluh kesah yang datang dari lubuk hati paling dalam para petani. Maaf. (*)