Firaun Cukai dan Nalar Keadilan yang Terluka di Madura

- Jurnalis

Sabtu, 27 September 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.

——

SEBUAH letupan verbal dari seorang pejabat tinggi negara acap kali bukan sekadar slip of the tongue, melainkan sebuah sinyalemen penting, sebuah katarsis yang membukakan kotak pandora persoalan yang lama terpendam.

Ketika Menteri Keuangan Purbaya, dalam sebuah forum, mengumpamakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang eksesif dengan kebijakan “Firaun”, publik sontak terhenyak.

Sebagian mungkin menganggapnya sebagai diksi yang gegabah, namun bagi mereka yang bersentuhan langsung dengan brutalitas kebijakan ini di lapangan, umpatan itu adalah representasi paling jujur dari jeritan yang selama ini parau tak terdengar.

Pernyataan sang menteri adalah momentum krusial untuk menelisik kembali nalar kebijakan cukai kita. Secara teoretis, cukai adalah instrumen fiskal dengan dua fungsi utama: budgetair (penerimaan negara) dan regulerend (pengendalian konsumsi).

Dalam konteks rokok, fungsi pengendalian menjadi justifikasi utama, dibungkus dengan narasi mulia perlindungan kesehatan publik dari eksternalitas negatif produk tembakau.

Logika ini, di atas kertas, tampak sempurna. Pemerintah menaikkan tarif cukai secara agresif dari tahun ke tahun, berharap harga rokok yang melambung akan menekan prevalensi perokok.

Namun, realitas di lapangan, khususnya di kantong-kantong industri rokok kretek tradisional seperti Madura, melukiskan cerita yang jauh lebih kelam. Kebijakan yang dirancang sebagai “pedang” untuk mengendalikan konsumsi ternyata menjelma menjadi “gilotin” yang membabat habis para pelaku usaha skala kecil dan menengah.

Di sinilah metafora “Firaun” menemukan relevansinya. Sebuah kekuasaan yang, dari menara gading birokrasi, menetapkan titah tanpa menimbang dampak destruktifnya bagi rakyat jelata di hilir.

Paradoks Regulasi: Membunuh yang Kecil, Melahirkan Ilegalitas

Baca juga :  Lanjutkan Pembangunan KIHT Tahap 4, Pemkab Sumenep Kembali Gelontorkan Anggaran Miliaran Rupiah

Industri hasil tembakau (IHT) di Madura memiliki karakteristik sosiokultural yang unik. Ia bukan sekadar entitas ekonomi, melainkan warisan tradisi yang mengakar kuat.

Tembakau Madura dengan kekhasannya telah menjadi denyut nadi kehidupan ribuan keluarga, mulai dari petani di ladang hingga para pelinting sigaret kretek tangan (SKT) di rumah-rumah. Usaha mereka, yang sering kali bersifat turun-temurun, beroperasi dengan modal terbatas dan skala produksi yang jauh dari kata industrial.

Ketika pemerintah memberlakukan kenaikan CHT secara seragam dan progresif, kebijakan ini menjadi pukulan mematikan. Harga pita cukai yang harus mereka tebus menjadi tidak masuk akal secara kalkulasi bisnis.

Bayangkan, seorang pengusaha rokok kecil di Pamekasan atau Sumenep harus bersaing dalam kerangka regulasi yang sama dengan korporasi multinasional raksasa yang memiliki kekuatan modal, efisiensi produksi mesin (SKM), dan jaringan distribusi masif. Ini bukanlah kompetisi, ini adalah pembantaian yang dilegalisasi oleh regulasi.

Akibatnya, mereka dihadapkan pada dua pilihan tragis: gulung tikar atau “turun gunung” ke jalur ilegal. Data dari berbagai lembaga, termasuk studi dari pusat kajian ekonomi universitas terkemuka, secara konsisten menunjukkan korelasi positif antara kenaikan tarif cukai yang agresif dengan peningkatan peredaran rokok ilegal atau “rokok bodong”.

Ketika harga rokok legal menjadi tidak terjangkau, pasar secara alamiah akan mencari alternatif. Para pengusaha kecil yang terdesak ini, dalam upaya untuk bertahan hidup, terpaksa mengisi ceruk pasar tersebut.

Mereka bukanlah penjahat ekonomi yang rakus. Mereka adalah korban dari sebuah kebijakan yang buta konteks. Tindakan mereka menjual rokok tanpa pita cukai adalah sebuah survival strategy, sebuah bentuk perlawanan sunyi terhadap regulasi yang mencekik. Namun, negara, melalui aparat penegak hukumnya, merespons strategi bertahan hidup ini dengan tangan besi.

Baca juga :  Gudang Rokok Tak Berizin Dikeluhkan, Bikin Pusing dan Sesak Nafas

Kriminalisasi Rakyat Kecil

Laporan penangkapan penjual atau produsen rokok bodong di Madura dan wilayah Tapal Kuda lainnya sudah menjadi berita rutin. Yang ironis, yang sering kali terjaring dalam operasi penegakan hukum ini bukanlah para bandar besar, melainkan para produsen skala rumahan, ibu-ibu pelinting, atau pedagang kecil di pasar tradisional.

Hukum yang seharusnya tajam ke atas untuk menindak korporasi besar yang mungkin melakukan penghindaran pajak, justru menjadi sangat tajam ke bawah, mengkriminalisasi wong cilik yang berjuang untuk sesuap nasi.

Negara, alih-alih hadir sebagai pembina, justru memposisikan diri sebagai predator bagi usaha rakyatnya sendiri. Kerugian negara akibat rokok ilegal memang nyata, angkanya bisa mencapai triliunan rupiah per tahun.

Namun, menimpakan seluruh kesalahan pada produsen kecil adalah sebuah simplifikasi yang menyesatkan. Akar masalahnya terletak pada kebijakan tarif yang tidak adil dan tidak realistis, yang secara efektif mendorong mereka keluar dari sistem legal.

Menuju Solusi yang Berkeadilan

Mendukung pernyataan Menteri Keuangan Purbaya bukan berarti kita anti terhadap pengendalian konsumsi tembakau. Ini adalah tentang menyerukan sebuah kebijakan yang lebih cerdas, lebih beradab, dan lebih berkeadilan. Beberapa langkah konkret perlu segera dipertimbangkan secara serius.

Pertama, diferensiasi tarif cukai yang radikal. Sudah saatnya pemerintah merancang skema tarif cukai yang benar-benar membedakan antara industri padat karya (SKT) skala kecil/tradisional dengan industri padat modal (SKM) skala besar.

Baca juga :  Fantastis! Penerimaan Cukai Rokok di Madura Tembus Rp 1,1 Triliun

Penggolongan yang ada saat ini terbukti belum cukup melindungi yang kecil. Perlu ada kategori khusus, mungkin “Cukai Mikro” atau “Cukai Kerakyatan”, dengan tarif yang jauh lebih rendah dan rasional bagi produsen dengan volume produksi di bawah ambang batas tertentu. Ini akan memberi mereka ruang untuk bernapas, beroperasi secara legal, dan tetap berkontribusi pada penerimaan negara.

Kedua, penyederhanaan birokrasi dan pembinaan. Proses untuk mendapatkan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) dan memesan pita cukai harus disederhanakan secara masif untuk skala mikro.

Pemerintah daerah, bekerja sama dengan kantor bea cukai setempat, harus proaktif melakukan pendampingan dan pembinaan, bukan sekadar penindakan. Ubah paradigma dari pengawas menjadi mitra tumbuh.

Ketiga, realokasi fokus penegakan hukum. Alih-alih menghabiskan sumber daya untuk mengejar pedagang eceran, fokus penegakan hukum harus diarahkan pada mata rantai distribusi besar dan para pemodal utama di balik peredaran rokok ilegal skala masif. Pendekatan intelijen ekonomi harus lebih diutamakan daripada operasi sapu jagat yang sering kali salah sasaran.

Pada akhirnya, polemik “Firaun Cukai” ini harus menjadi alarm bagi kita semua. Sebuah kebijakan publik yang baik tidak diukur dari kemegahan angkanya di atas kertas APBN, tetapi dari dampaknya pada kehidupan manusia nyata.

Kebijakan cukai yang membunuh industri kecil lokal, mengkriminalisasi rakyatnya sendiri, dan justru menyuburkan pasar gelap adalah kebijakan yang telah gagal dalam nalarnya.

Saatnya mengembalikan cukai pada khitahnya: sebagai instrumen yang mengatur dengan bijaksana, bukan membunuh dengan membabi buta. (*)

Berita Terkait

Belajar Terukur dari Mas Ipin
Madura Butuh Provinsi, Bukan Badan Otorita
Menunggu Sikap Kesatria PDI Perjuangan
JC Swasta
Runtuhnya Pilar Demokrasi di Kota Keris
Perang Para Begawan
Di Balik Kejujuran Mas Hambali
Menerka Suasana Kebatinan Pak Dahlan Iskan

Berita Terkait

Sabtu, 27 September 2025 - 04:07 WIB

Firaun Cukai dan Nalar Keadilan yang Terluka di Madura

Kamis, 18 September 2025 - 05:52 WIB

Belajar Terukur dari Mas Ipin

Sabtu, 13 September 2025 - 05:41 WIB

Madura Butuh Provinsi, Bukan Badan Otorita

Selasa, 2 September 2025 - 07:57 WIB

Menunggu Sikap Kesatria PDI Perjuangan

Senin, 11 Agustus 2025 - 07:52 WIB

JC Swasta

Berita Terbaru

Catatan Pena

Firaun Cukai dan Nalar Keadilan yang Terluka di Madura

Sabtu, 27 Sep 2025 - 04:07 WIB