[CERPEN] You Can Call Me, Saaa…

- Jurnalis

Sabtu, 16 Agustus 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

NAMAKU Syarifah. Sejak kecil, aku tumbuh dalam pelukan cinta. Ayah dan ibu menanamkan kasih sayang sekaligus ketegasan. Aku dibentuk untuk menjadi perempuan yang penuh cinta.

Seolah Allah menitipkan padaku sebuah bejana hati yang selalu ingin menuangkan kasih, bahkan ketika ia sendiri perlahan mengering.

Cintaku selalu aku berikan. Untuk orang tua. Untuk sahabat. Untuk siapa saja yang pernah singgah dalam hidupku. Bahagiaku sederhana: melihat orang lain tersenyum karena uluran tanganku. Namun, dalam perjalanan waktu, aku lupa satu hal, bejana cinta ini juga butuh diisi.

Hari-hari berjalan seperti arus sungai yang tenang, tak ada kejutan. Sampai aku menyadari: aku kehausan. Jiwa ini merintih, meminta asupan cinta. Dan pada titik itulah, aku bertemu seseorang di ruang maya—tapi terasa lebih nyata daripada orang-orang yang setiap hari ada di sisiku.

Namanya Hasan Basri. Mantan aktivis mahasiswa. Sempat jadi LSM sebelum memutuskan menjadi buru buruh kasar di Negeri Jiran, Malaysia.

Dia meninggalkan istri dan sanak familinya demi menyambung hidup. Lelaki ini penuh kisah getir, terlilit hutang akibat judi online, pernikahannya retak, kehidupan carut marut.

”Assalamualaikum, Kakak Syarifah. Salam kenal, saya Hasan Basri,” begitu pesan pertamanya di DM Instagram.

Awalnya biasa saja. Aku balas sekadarnya. Tapi entah bagaimana, percakapan itu beranak-pinak, semakin intim, semakin mendekat.

Dari panggilan “Kakak”, berubah menjadi “kamu”, hingga akhirnya ia menyebutku dengan sapaan lembut penuh getar: “Saaa…” — dengan tiga huruf a yang bagai desir angin menelusup ke ruang hatiku yang hampir mati.

Dan aku? Aku bukan gadis lajang. Aku seorang istri. Aku hampir 40 tahun. Tetapi justru di usia itu aku tersadar, betapa dahsyatnya rasa haus akan cinta.

Baca juga :  Penyesalan Masa Tua

“Hati yang kering kerontang akan mencari air, meski dari sumur yang keruh,” begitu gumamku.

Aku tahu itu salah. Tetapi aku terlambat. Kata-kata Hasan Basri, perhatiannya, candanya, telah menjadi oase yang kuhirup rakus.

Hasan Basri pintar menyentuh kelemahanku. Ia tahu aku gila kerja, maka ia menawarkanku mimpi, sebuah bisnis ekspedisi dari Kuala Lumpur ke Madura. Bisnis itu menjadi jembatan untuk menautkan hati kami lebih erat.

Aku sempat ragu. Siapa Hasan Basri. Tanpa komando, saya mencari tahu. Bertanya pada Kak Ali, senior di kampus.  Dan benar, dia kenal. Sosok nyata. Bukan tipuan.

Bahkan, Hasan Basri telah mengenalku sejak lama. Jauh sebelum canda lewat dunia maya itu dimulai. “Dia temannya Muksin, sering ke kantormu dulu,” kata Kak Ali.

Muksin yang dimaksud adalah rekan kerjaku. Kami pun sangat dekat. Saat dia sakit, aku yang merawat. Membelikan obat, menyiapkan air hangat dan membawakan selimut agar tidak kedinginan.

Jawaban Kak Ali sangat memuaskan. Hubungan saya dan Hasan Basri kian dalam. Hingga aku lupa, ada seorang lelaki yang menemaniku lebih dulu. Perhatian padanya pudar. Kata-kata sayang hilang. Rasa yang kami pupuk bertahun-tahun silam nyaris hilang.

Bahkan, suatu ketika aku tega memanggil preman hanya karena ia berselisih denganku. Dia digebukin. Rahangnya bengkak. Jangankan nasi, air pun sulit masuk.

Apakah aku merasa bersalah? Tidak. Sama sekali tidak. Menyesal pun tidak. Saya selalu berprinsip bahwa, the people come and go. Kisah lamaku boleh pergi, asal Hasan Basri datang sebagai pengganti.

Baca juga :  Aroma Kemerdekaan

“Dia tidak menuntut apa pun dariku, tidak minta dilayani. Hatta urusan waktu, dia juga tidak menuntut. Tapi dia selalu ada, selalu mengerti apa pun yang aku rasa,” kataku saat berdialog dengan rasa ragu yang kadang tiba-tiba datang.

****

Tak puas hanya dengan komunikasi lewat dunia maya, aku ingin melihat wajah Hasan Basri secara nyata. Kesempatan itu datang saat aku hendak umrah dengan rombongan backpacker. Titik kumpulnya di Malaysia.

Aku atur jadwal berangkat lebih awal. Seolah salah pesan tiket pesawat. Mestinya berkumpul tanggal 16, tapi saya pesan tiket penerbangan tanggal 15. Tujuannya hanya satu, agar bisa bermalam negeri itu. Satu malam yang kelak menjadi titik hitam dalam sejarah hidupku.

Kami bertemu. Dunia maya menjelma nyata. Jemari yang selama ini hanya menari di layar ponsel, kini nyata menggenggam. Senyum yang biasa kulihat di foto profil, kini hadir di depan mata. Malam itu… ah, biarlah rahasia tersimpan di antara dua jiwa yang tersesat.

“Ketika syahwat memimpin, akal dibungkam, iman diikat, lalu dosa pun merajalela,” kata Hasan Basri memulai percakapan di dalam taksi yang dia pesankan untukku.

Hari demi hari, ikatan kami semakin erat. Hasan Basri mulai bercerita soal rumah tangganya. Ia memgaku ingin bercerai. Ia ingin bebas. Katanya, ia ingin menata hidup baru. Dan aku—perempuan bodoh yang haus cinta—percaya. Bukan hanya percaya, tapi menjadi pelita di kegelapan kisah hidupnya.

Namun, Allah punya cara membuka tabir. Suatu hari, pasanganku menemukan panggilan telepon darinya. Rahasiaku terbongkar. Ia memaksaku memblokir nomor Hasan Basri.

Baca juga :  Hidup Menjadi Anak Garam

Di hadapannya, aku patuh. Tapi di belakangnya, aku tetap mencari celah. DM Instagram, Messenger Facebook, nomor baru—apa pun caranya, aku lakukan. Bahkan, aku bagikan nomor baru.

Aku tak peduli lagi. Bagiku, yang penting Hasan Basri tetap ada. Tapi apakah benar ia tulus? Ataukah aku hanya pion dalam permainan panjangnya? Pertanyaan itu sering muncul, tapi segera kuusir dengan rayuan yang ia bisikkan.

“Orang yang dikhianati masih bisa berharap, tapi orang yang mengkhianati kehilangan dirinya sendiri.”

Aku kehilangan diriku. Aku bukan lagi Syarifah yang penuh cinta. Aku hanya “Saaa…”—perempuan yang rela menukar kehormatan dengan fatamorgana cinta seorang lelaki bernama Hasan Basri.

Hari ini, ketika aku menoleh ke belakang, air mata jatuh tanpa bisa kutahan. Aku ingat pasanganku, lelaki yang mungkin tidak romantis, tetapi selalu ada. Berusaha menjadi sosok yang selalu bisa kuandalkan.

Lelaki yang diam-diam menghapus keringatku ketika aku sakit. Lelaki yang mungkin kalah dalam kata-kata, tetapi selalu ada saat aku terpuruk.

Dan aku? Aku menggadaikan itu semua hanya karena dahaga yang tak pernah benar-benar terisi.

Aku menulis kisah ini dengan tangan bergetar. Jika ada yang bertanya siapa aku, maka jawabanku tetap sama: You can call me, Saaa…

Tapi tahukah kalian? Itu bukan panggilan manja, melainkan jeritan jiwa yang tersesat dalam pengkhianatan. (*)

—–

DESCLAIMER: Cerita di atas hanya fiksi. Mohon maaf jika ada kesamaan nama dan kisah. 

Berita Terkait

Belajar Tulus dari Hati Suhita
Kumpulan Sajak Nuril Izza Afgarina
Antara Komitmen dan Setia
Kumpulan Puisi Fardan,d 
Sepucuk Harapan M. Yamin
Aroma Kemerdekaan
Penyesalan Masa Tua
Hidup Menjadi Anak Garam

Berita Terkait

Minggu, 14 September 2025 - 01:35 WIB

Belajar Tulus dari Hati Suhita

Sabtu, 13 September 2025 - 04:33 WIB

Kumpulan Sajak Nuril Izza Afgarina

Sabtu, 16 Agustus 2025 - 10:05 WIB

[CERPEN] You Can Call Me, Saaa…

Selasa, 12 Agustus 2025 - 07:35 WIB

Antara Komitmen dan Setia

Senin, 14 Juli 2025 - 19:18 WIB

Kumpulan Puisi Fardan,d 

Berita Terbaru