Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.
—-
EWASA ini, jagat digital seakan menjelma medan Kurukshetra. Para begawan turun dari kahyangan. Menghunus pena. Meluncurkan narasi, menusuk dengan diksi.
Pemantiknya? Mirip konflik Thailand-Kamboja. Saling tuduh soal siapa yang mulai menyerang duluan. Satu pihak mengaku hanya defensif. Pihak lain bilang bukan agresi, tapi reaksi.
Ya, ini perang para begawan. Begawan aktivis, begawan jurnalis, dan si empunya tahta di singgasana maya; TikTok!
Padahal, seharusnya para begawan adalah peneduh. Bukan justru menambah kabut. Tapi kini, yang ditinggal hanya ego dan gegap gempita suara gendang—ditabuh di ruang maya dan digoreng di linimasa.
Materinya sama. Tentang kisah gelap dugaan mega skandal Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Sumenep. Jika kisah cinta Laila Majnun adalah romansa penuh nestapa, skandal BSPS ini adalah ironi yang lebih getir.
Lebih kelam dari kisah Zulaikha menggoda Yusuf. Lebih absurd dari wayang Semar yang menangis di tengah medan perang.
Narasi-narasi itu menjalar dari warung kopi hingga meja redaksi. Semua merasa benar. Semua ingin jadi pembuka tabir. Tapi tak sedikit pula yang justru ikut menutupinya dengan bungkus narasi.
Saya, semula, adalah orang yang paling ragu. Ketika pertama mendengar isu bahwa ada aliran dana Rp 500 juta kepada oknum wartawan, saya hanya bisa terkesiap. Setengah miliar? Tidak masuk akal. Di luar nalar.
Dalam circle wartawan, uang sebesar itu bukan lagi “cicak”, bukan pula “tekko’”—melainkan ular naga berkepala tujuh.
Sepanjang satu dekade saya menekuni dunia wartawan, pengondisian—jika boleh disebut begitu—paling tinggi sebatas beberapa lembar merah atau biru. Itu pun tidak terang-terangan.
Tapi yang ini? Konon, angkanya nyaris menyaingi satu tahap Dana Desa. Entah saya yang terlalu polos, atau realitas ini yang memang gila. Apakah benar dana itu mengalir ke oknum wartawan? Wallahu a’lam.
Tapi ketika para begawan saling lempar angka—Rp 15 juta, Rp 70 juta, hingga Rp 200 juta—lalu angka itu menguap menjadi aroma kuat dalam kopi diskusi, kita tahu: ini bukan lagi sekadar obrolan warung. Ini sinyal bahwa ada yang retak di balik dinding idealisme.
Sayangnya, para begawan tak lagi fokus membongkar substansi. Mereka sibuk membantah, saling sanggah, dan terkadang justru memperkeruh air yang sudah keruh.
Padahal, dalam kisah Mahabharata, para Pandawa memilih berperang bukan karena benci, tapi karena harus menjaga dharma—kebenaran.
Kita butuh itu sekarang: keberanian menjaga dharma, bukan sekadar adu narasi. Kita butuh begawan yang mengurai benang kusut, bukan justru menjerat simpulnya lebih erat.
Saya percaya, di balik asap itu pasti ada api. Tapi siapa yang meniupnya, siapa yang menikmati hangatnya, itu tugas penegak hukum untuk menjawab.
Kita hanya bisa menunggu: apakah drama ini akan berakhir dengan penyesalan, atau hanya jadi pertunjukan kelabu yang segera dilupakan.
Sementara itu, saya cuma ingin mengingatkan: di dunia pewayangan, yang sering binasa justru mereka yang paling banyak bicara. Para bijak biasanya diam—bekerja dalam senyap, dan muncul hanya saat dibutuhkan.
Semoga saja, kita masih punya cukup banyak begawan seperti itu. Yang tidak sekadar pandai berkata, tapi juga berani bertindak. Bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menegakkan.
Karena bumi pertiwi ini terlalu indah untuk terus dikoyak oleh tangan-tangan yang diam-diam mencuri. Sekali lagi, maaf. (*)