Kangean Dilupakan, Rakyat Melawan!

- Jurnalis

Jumat, 10 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.

——-

BEBERAPA hari terakhir, Pulau Kangean kembali menjadi pusat perhatian nasional. Ratusan warga, aktivis, dan nelayan menolak survei seismik tiga dimensi yang akan dilakukan oleh PT. Kangean Energy Indonesia (KEI) Ltd.

Spanduk penolakan berkibar di atas perahu mereka seperti simbol kecil dari suara besar yang datang dari laut timur Madura. Suara itu memantulkan satu pesan sederhana, namun tegas: masyarakat sudah terlalu lama diam.

Penolakan ini bukan reaksi spontan terhadap rencana eksplorasi migas, melainkan hasil dari kekecewaan yang menumpuk selama puluhan tahun. Sejak era 1980-an, gas bumi di Kangean telah dieksploitasi, tetapi kemakmuran tak pernah benar-benar tiba di pulau itu.

Dalam teori ekonomi politik, fenomena ini dikenal sebagai resource curse atau kutukan sumber daya alam. Profesor Richard Auty menyebutnya sebagai paradoks kelimpahan: daerah yang kaya sumber daya justru terjebak dalam kemiskinan dan ketimpangan.

Kangean adalah potret nyata dari paradoks tersebut. Gasnya mengalir ke kota-kota besar di Jawa bahkan ke luar negeri, namun listrik di pulau itu masih sering padam dan jalan desa tetap berlubang.

Sekolah-sekolah di Kangean masih berdinding papan, sementara laporan produksi migas menunjukkan angka miliaran dolar. Ketimpangan ini menegaskan bahwa ekonomi Kangean tak pernah benar-benar pulang ke rumah.

Baca juga :  Tiga Paslon Bupati-Wakil Bupati Pamekasan Komitmen Ciptakan Pilkada Teduh Tanpa Gaduh

Pendapatan besar dari migas menguap ke pusat, meninggalkan masyarakat lokal hanya sebagai penonton di panggung industri energi. Mereka menerima debu eksploitasi tanpa pernah menikmati manisnya pembangunan.

Ketika keuntungan hanya berhenti di meja pejabat dan pemilik modal, maka ekonomi kehilangan moralnya. Dalam pandangan Amartya Sen, pembangunan seharusnya bermakna sebagai perluasan kebebasan manusia, bukan sekadar peningkatan angka pendapatan.

Dari perspektif sosial, penolakan masyarakat Kangean adalah bentuk perlawanan yang rasional dan berakar dalam kesadaran kolektif. Ia lahir dari pengalaman panjang tentang ketidakadilan struktural yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat menyaksikan bagaimana laut yang dulu jernih kini keruh, dan ikan yang dulu mudah ditangkap kini menjauh. Mereka bukan menolak kemajuan, melainkan menolak pemiskinan yang dibungkus dengan istilah pembangunan.

Dalam sosiologi pembangunan, kondisi ini disebut social backlash. Yakni, reaksi masyarakat terhadap pembangunan yang gagal menghadirkan rasa keadilan. Kekecewaan sosial seperti ini sering kali muncul di wilayah yang merasa diabaikan oleh kebijakan pusat.

Masyarakat Kangean telah lama hidup dalam sistem yang tidak berpihak pada mereka. Setiap janji pembangunan datang bersama kapal survei, bukan dengan perbaikan sekolah atau peningkatan kesejahteraan nelayan.

Baca juga :  Runtuhnya Pilar Demokrasi di Kota Keris

Kearifan lokal Kangean sebenarnya menyimpan pandangan ekologis yang dalam. Mereka hidup dengan falsafah Rèya Bumi, Rèya Gustèna — “ini bumi, ini titipan Tuhan”.

Nilai ini adalah etika ekologis yang menempatkan alam bukan sebagai objek ekonomi, melainkan bagian dari kehidupan yang harus dijaga keseimbangannya. Namun, industrialisasi yang masif telah merusak tatanan nilai tersebut.

Dalam pendekatan ecological economics, kesejahteraan tidak dapat diukur hanya melalui pertumbuhan PDB, tetapi juga melalui keberlanjutan dan keadilan sosial. Ketika laut rusak dan masyarakat tetap miskin, maka pembangunan telah kehilangan rohnya.

Dari sudut pandang politik, Kangean adalah periferi yang terus diabaikan oleh pusat kekuasaan. Ia menjadi semacam koloni energi di dalam republik sendiri.

Keuntungan besar dari gas bumi tak pernah kembali dalam bentuk infrastruktur yang layak. Pemerintah daerah kehilangan daya tawar di hadapan perusahaan besar yang berpayung izin pusat.

Otonomi daerah yang dijanjikan sejak reformasi ternyata tak sepenuhnya berlaku di lautan Kangean. Kekuasaan atas sumber daya tetap berada di tangan pusat, sementara masyarakat lokal hanya menonton dari pinggir dermaga.

Penolakan masyarakat Kangean terhadap survei seismik adalah seruan moral agar pembangunan dikembalikan pada fitrahnya. Mereka tidak menolak kemajuan, mereka hanya menuntut keadilan.

Baca juga :  Menguji Iman Bung Faisal

Pemerintah dan perusahaan harus mengubah paradigma dari corporate extraction menjadi corporate participation. Masyarakat harus dilibatkan secara nyata dalam pengambilan keputusan, bukan sekadar menjadi objek CSR simbolik.

Prinsip local benefit sharing harus dijadikan pijakan baru. Setiap tetes gas yang diambil dari bumi Kangean harus memberi makna bagi kehidupan masyarakatnya sendiri.

Selain itu, pembangunan infrastruktur dasar harus menjadi prioritas. Pelabuhan, sekolah, rumah sakit, dan jaringan komunikasi. Tanpa keadilan infrastruktur, tidak akan ada keadilan ekonomi.

Aksi warga Kangean bukanlah tanda permusuhan terhadap negara, melainkan bentuk cinta terhadap tanah kelahiran mereka. Mereka berjuang agar masa depan anak cucu tidak tenggelam bersama sumur gas yang semakin dalam.

Dalam pandangan filsafat Timur, manusia dan alam tidak pernah terpisah. Alam bukan musuh yang harus ditaklukkan, melainkan guru yang harus dihormati.

Kangean sedang mengajarkan kepada kita bahwa pembangunan sejati bukan yang tumbuh ke atas, melainkan yang tumbuh ke dalam. Bukan yang menambang bumi, melainkan yang menumbuhkan martabat.

Ketika negara abai dan perusahaan buta, rakyatlah yang menjadi penjaga terakhir bumi mereka sendiri. Sebab kemajuan tanpa keadilan hanyalah bentuk lain dari penjajahan yang berganti nama. Maaf! (*)

Berita Terkait

Tak Perlu KEK, Cukup Berlakukan Tarif Cukai Kelas Tiga
Dramaturgi Gerbong Mutasi
Apa Kabar Dugaan Skandal Mega Korupsi BSPS Sumenep?
Refleksi Satu Tahun DPR RI Dapil Madura, Antara Ada dan Tiada
UIN Madura, Harapan Baru Ekonomi Biru
KEK Tembakau dan Kembalinya Kejayaan Daun Emas Madura
Firaun Cukai dan Nalar Keadilan yang Terluka di Madura
Belajar Terukur dari Mas Ipin

Berita Terkait

Jumat, 10 Oktober 2025 - 00:18 WIB

Kangean Dilupakan, Rakyat Melawan!

Selasa, 7 Oktober 2025 - 11:41 WIB

Tak Perlu KEK, Cukup Berlakukan Tarif Cukai Kelas Tiga

Minggu, 5 Oktober 2025 - 01:22 WIB

Dramaturgi Gerbong Mutasi

Jumat, 3 Oktober 2025 - 04:09 WIB

Apa Kabar Dugaan Skandal Mega Korupsi BSPS Sumenep?

Rabu, 1 Oktober 2025 - 00:23 WIB

Refleksi Satu Tahun DPR RI Dapil Madura, Antara Ada dan Tiada

Berita Terbaru

Jenazah MrX saat dievakuasi dari area Pantai Branta Pesisir menuju RSUD Smart Pamekasan. (ISTIMEWA)

Pamekasan

Heboh, Mayat Misterius Ditemukan di Pantai Branta Pesisir

Jumat, 10 Okt 2025 - 03:06 WIB

Catatan Pena

Kangean Dilupakan, Rakyat Melawan!

Jumat, 10 Okt 2025 - 00:18 WIB