Dramaturgi Gerbong Mutasi

- Jurnalis

Minggu, 5 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.

—–

MENJELANG mutasi pejabat tinggi pratama di lingkungan Pemkab Pamekasan, angin isu tiba-tiba berembus kencang. Konon, ada jual beli jabatan dengan nilai fantastis, Rp1,5 miliar. Angka itu bukan sembarangan. Ia bukan sekadar kabar di warung kopi atau bisik-bisik di koridor kantor bupati. Ia adalah isu yang saya duga sengaja “dipentaskan”. Dan, seperti semua pementasan, selalu ada sutradara di balik layar.

Padahal, rencana mutasi itu sebenarnya disusun rapi. Dua puluh pejabat tinggi pratama sudah mengikuti uji kompetensi. Prosesnya formal, prosedural, bahkan tampak steril dari intrik. Namun, menjelang mutasi yang awalnya dijadwalkan akhir September 2025, tiba-tiba publik digiring ke arah lain. Isu jual beli jabatan mencuat. Mutasi pun tertunda.

Saya mencurigai, ini bukan sekadar isu liar. Ini adalah bagian dari strategi. Sebuah taktik klasik untuk mengalihkan perhatian publik dari sesuatu yang lebih besar, lebih strategis, dan mungkin lebih “gelap”. Dalam ilmu politik dan strategi, langkah semacam ini dikenal sebagai deception operation. Operasi pengelabuan.

Sejarah mencatat, para tokoh Yunani kuno adalah maestro dalam hal tipu muslihat. Kisah paling terkenal tentu saja adalah Kuda Troya. Saat pasukan Yunani gagal menembus dinding kota Troya, mereka pura-pura menyerah. Mereka meninggalkan sebuah patung kuda raksasa, seolah sebagai tanda kekalahan.

Namun, di dalamnya tersembunyi pasukan terbaik mereka. Begitu malam tiba dan warga Troya merayakan kemenangan, pasukan itu keluar dan membuka gerbang kota. Troya pun jatuh bukan karena kekuatan senjata, melainkan karena kelicikan akal.

Apa yang dilakukan dalam kisah itu sejatinya adalah seni menciptakan isu pengalihan. Publik Troya percaya bahwa perang telah usai. Mereka lengah. Dalam konteks hari ini, masyarakat juga bisa dikelabui dengan cara serupa. Bukan dengan kuda kayu, melainkan dengan isu besar yang menggiurkan perhatian. Sasaran tembaknya adalah, bupati Pamekasan.

Baca juga :  Pemkab Pamekasan Tutup Sementara Kawasan Eks Stasiun PJKA, Pedagang Melawan!

Paul Nitze, seorang ahli strategi perang Amerika, pernah mengemukakan konsep strategic deception. Dalam pandangan Nitze, dalam setiap perang (baik militer maupun politik), tidak cukup hanya mengandalkan kekuatan. Kemenangan sering kali ditentukan oleh kemampuan menipu persepsi lawan. Tujuannya bukan hanya agar lawan kalah, tetapi agar lawan tidak sadar bahwa ia sedang dikalahkan.

Jika teori Nitze ini kita tarik ke konteks Pamekasan, maka munculnya isu jual beli jabatan bisa dilihat sebagai bentuk strategic deception. Publik diarahkan untuk memperdebatkan soal angka Rp1,5 miliar dan mengabaikan substansi yang lebih penting, siapa yang sebenarnya sedang bermain di balik panggung mutasi itu? Siapa yang berkepentingan? Dan, lebih dalam lagi, isu apa yang ingin ditutupi?

Salah satu spekulasi yang merebak adalah soal posisi Sekda Masrukin. Kabar bahwa ia akan dimutasi menjadi topik seksi di berbagai lingkaran pemerintahan. Wajar saja, Masrukin bukan pejabat sembarangan. Ia pernah menjabat sebagai Penjabat (Pj) Bupati Pamekasan selama hampir dua tahun.

Secara karier, dia berada di puncak birokrasi daerah. Maka, isu bahwa ia akan dimutasi menimbulkan multi tafsir ekstrem. Apakah ini bentuk demosi (penurunan jabatan), atau justru persiapan promosi ke jabatan strategis di Pemprov Jawa Timur?

Ironinya, di tengah derasnya tafsir publik itu, muncul isu jual beli jabatan yang nilainya lebih sensasional dari cerita sekda. Inilah titik menariknya. Publik pun melupakan soal Masrukin, lalu sibuk memperdebatkan isu jual beli jabatan yang belum tentu nyata.

Baca juga :  Katarsis Resolusi

Inilah seni pengalihan yang nyaris sempurna. Mengalihkan fokus dari pemain sebenarnya ke panggung penuh kabut.

Dalam politik kekuasaan, sering kali kebenaran tidak disembunyikan, tapi ditenggelamkan oleh kebisingan. Machiavelli dalam Il Principe sudah menulis, “Kebohongan yang diulang terus-menerus bisa lebih kuat dari kebenaran yang diucapkan sekali.”

Siasat ini mirip dengan yang terjadi dalam konteks Pamekasan. Ketika kebenaran terlalu berbahaya untuk diungkap, maka dibuatlah “kebenaran baru” yang lebih ramai. Tipus muslihat melalui isu berbalut diksi dan narasi.

Mungkin saja isu jual beli jabatan itu memang sengaja dimunculkan untuk menutupi konflik kepentingan yang lebih serius. Misalnya, intervensi dari pihak tertentu yang ingin mengatur pengisian jabatan. Ada kabar, beberapa posisi kepala dinas mau dikapling pihak tertentu.

Namun kabarnya, bupati tidak mau diintervensi. Mantan anggota DPR RI itu betul-betul ingin mengisi pasukannya dengan SDM unggul dan kredibel. Penolakan dari bupati itu yang kemudian memunculkan reaksi berupa counter perception operation.

Yakni, persepsi tandingan agar lawan terlihat buruk dan kehilangan legitimasi moral. Isu jual beli jabatan bukan sekadar gosip, tapi senjata politik untuk mengguncang kepercayaan publik terhadap bupati.

Masalahnya, masyarakat kita cenderung lebih cepat percaya pada isu ketimbang fakta. Dalam era media sosial, kabar bohong bisa berlari lebih cepat dari kebenaran. Orang lebih suka membagikan sesuatu yang sensasional ketimbang yang rasional. Akibatnya, publik mudah terjebak dalam permainan persepsi.

Padahal, Bupati Kholilurrahman sendiri sudah menantang secara terbuka. Dia dengan tegas menyampaikan, jika ada yang memiliki bukti jual beli jabatan, laporkan ke KPK. Tantangan ini adalah pernyataan politik yang keras dan jujur.

Baca juga :  Ketua DPRD Pamekasan Tegaskan Anggota Dewan Boleh Usulkan Program Pokir di Luar Dapil

Dalam ilmu komunikasi politik, setiap isu adalah produk intensi. Ia tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari niat dan kepentingan tertentu. Maka, kita harus belajar memilah antara informasi dan manipulasi.

Pamekasan hari ini sedang diuji. Apakah masyarakatnya bisa dewasa dalam menyaring isu, atau mudah terseret dalam permainan elite. Mutasi jabatan seharusnya menjadi momentum reformasi birokrasi, bukan arena sandiwara politik.

Jika teori Nitze benar bahwa perang modern tidak lagi tentang senjata, tetapi tentang narasi, maka perang yang terjadi di Pamekasan hari ini adalah perang narasi. Dan pemenangnya bukan yang paling kuat, tapi yang paling mampu mengelabuhi.

Namun, sejarah juga mengajarkan, setiap pengelabuan punya masa kedaluwarsa. Ketika kebenaran akhirnya muncul, semua topeng akan runtuh. Dan mereka yang dulu menebar isu akan ditelan oleh isu mereka sendiri.

Dalam dunia penuh intrik seperti birokrasi daerah, kadang yang paling berbahaya bukanlah korupsi uang, tapi korupsi persepsi. Pamekasan sedang berada di persimpangan antara dua hal. Menjaga integritas atau terseret dalam arus fitnah.

Dan bagi publik, mungkin sudah saatnya berhenti menjadi penonton yang mudah terpukau oleh kabar heboh. Karena dalam perang isu, mereka yang tidak berpikir kritis akan selalu menjadi korban pertama.

Kata Nitze, “Tujuan perang adalah menciptakan perdamaian di bawah kendali kita.” Maka, mungkin di Pamekasan, tujuan perang isu adalah menciptakan kekuasaan di bawah kendali mereka yang pandai mengelabuhi. Maaf! (*)

Berita Terkait

Tak Perlu KEK, Cukup Berlakukan Tarif Cukai Kelas Tiga
Apa Kabar Dugaan Skandal Mega Korupsi BSPS Sumenep?
Refleksi Satu Tahun DPR RI Dapil Madura, Antara Ada dan Tiada
UIN Madura, Harapan Baru Ekonomi Biru
KEK Tembakau dan Kembalinya Kejayaan Daun Emas Madura
Firaun Cukai dan Nalar Keadilan yang Terluka di Madura
Belajar Terukur dari Mas Ipin
Madura Butuh Provinsi, Bukan Badan Otorita

Berita Terkait

Selasa, 7 Oktober 2025 - 11:41 WIB

Tak Perlu KEK, Cukup Berlakukan Tarif Cukai Kelas Tiga

Minggu, 5 Oktober 2025 - 01:22 WIB

Dramaturgi Gerbong Mutasi

Jumat, 3 Oktober 2025 - 04:09 WIB

Apa Kabar Dugaan Skandal Mega Korupsi BSPS Sumenep?

Rabu, 1 Oktober 2025 - 00:23 WIB

Refleksi Satu Tahun DPR RI Dapil Madura, Antara Ada dan Tiada

Selasa, 30 September 2025 - 01:04 WIB

UIN Madura, Harapan Baru Ekonomi Biru

Berita Terbaru

Catatan Pena

Tak Perlu KEK, Cukup Berlakukan Tarif Cukai Kelas Tiga

Selasa, 7 Okt 2025 - 11:41 WIB