Distorsi Eksploitasi Migas Madura

- Jurnalis

Jumat, 17 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.

—–

INDUSTRI hulu migas di Madura berjalan dengan megah di atas laporan produksi. Namun, gagal menghadirkan kesejahteraan nyata bagi masyarakat. Puluhan tahun eksplorasi dan eksploitasi berlangsung, tapi kehidupan nelayan tetap terombang-ambing di tengah kesulitan.

Listrik di kepulauan masih sangat terbatas, ekonomi pesisir berjalan lambat, dan kerusakan lingkungan laut kian merajalela. Di tengah janji kesejahteraan yang tak kunjung tiba, kesabaran masyarakat Madura akhirnya sampai pada titik nadir.

Gelombang kekecewaan mulai menjelma menjadi perlawanan terbuka. Di Pulau Kangean, nelayan mengusir kapal survei seismik tiga dimensi milik PT. Kangean Energi Indonesia (KEI). Di Pulau Sapudi, masyarakat menulis surat terbuka kepada HCML menuntut data injeksi fluida karena khawatir pengeboran migas menjadi penyebab gempa.

Sementara di Sampang, dana kompensasi rumpon untuk nelayan justru berubah menjadi perkara hukum karena dugaan korupsi. Semua ini bukan sekadar rangkaian insiden lokal, tetapi sinyal kuat bahwa masyarakat Madura sudah kehilangan kepercayaan terhadap tata kelola industri migas yang selama ini berjalan tanpa rasa keadilan.

Padahal, dari sisi produksi, perairan Madura memegang peran vital dalam pasokan energi nasional. Data SKK Migas menunjukkan bahwa lebih dari tujuh puluh persen pasokan gas Jawa Timur berasal dari blok migas di sekitar Sumenep, dengan produksi harian mencapai lebih dari tujuh ratus juta kaki kubik gas.

Operator besar seperti Husky-CNOOC Madura Limited (HCML), Petronas Carigali Ketapang, Medco Energi, dan Pertamina Hulu Energy – West Madura Offshore (PHE-WMO) telah lama beroperasi di sana.

Baca juga :  Kasus Bullying SMPN 2 Pademawu Masuk Meja Sidang, Orang Tua Korban Ungkap Ada Upaya Damai dengan Uang

Nilai lifting gasnya mencapai sekitar enam triliun rupiah per tahun. Namun, Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima sangat timpang. Ketimpangan itu menegaskan bahwa Madura menjadi “tuan rumah tanpa upah” bagi industri besar yang mengeruk kekayaan alamnya.

Kajian dari Universitas Trunojoyo Madura (2022) menunjukkan bahwa kontribusi industri migas terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Madura tergolong sangat rendah.

Tingkat kemiskinan di wilayah pesisir penghasil migas tetap di atas rata-rata provinsi, bahkan mencapai 18 persen di beberapa kecamatan sekitar operasi perusahaan.

Kajian lain dari LIPI (2021) menegaskan bahwa kegiatan migas di daerah-daerah penghasil di Indonesia, termasuk Madura, cenderung menciptakan enclave economy atau ekonomi terpisah. Di mana, aktivitas produksi tidak berinteraksi dengan ekonomi lokal. Industri migas hanya menjadi “pulau makmur di tengah kemiskinan sosial.”

Fenomena ini sejalan dengan teori resource curse yang dikemukakan Richard Auty (1993), bahwa daerah kaya sumber daya alam seringkali justru terjebak dalam kemiskinan struktural akibat tata kelola yang timpang.

Sumber daya alam menghasilkan pendapatan besar. Tetapi manfaatnya terkonsentrasi pada segelintir elite politik dan korporasi. Masyarakat lokal hanya menjadi penonton, bahkan korban dari eksploitasi yang berlangsung atas nama pembangunan. Dalam konteks Madura, sumber daya migas yang melimpah belum pernah benar-benar menjadi bahan bakar kemajuan rakyatnya.

Baca juga :  Prof AQ dan Spirit Perjuangan Madura Provinsi

Kerusakan lingkungan akibat aktivitas industri turut memperparah kondisi sosial ekonomi masyarakat. Survei lapangan oleh Forum Kajian Pesisir Madura (2023) menunjukkan penurunan hasil tangkap nelayan hingga 40 persen di wilayah Kangean dan Sapudi sejak aktivitas seismik dan pengeboran intensif dilakukan.

Nelayan mengeluh ikan menjauh dari wilayah tangkap tradisional karena getaran seismik dan kebisingan mesin. Ini selaras dengan teori environmental justice, yang menegaskan bahwa kelompok marjinal kerap menanggung beban ekologis paling besar tanpa memperoleh manfaat ekonomi yang sepadan.

Secara sosial, masyarakat pesisir Madura menghadapi situasi paradoks. Mereka hidup di tengah sumber energi yang melimpah, tetapi masih bergantung pada solar bersubsidi untuk melaut.

Nelayan menyaksikan kapal-kapal industri beroperasi di perairan tempat mereka mencari ikan. Sementara di sisi lain, nelayan resah karena harga bahan bakar mahal. Dalam situasi seperti ini, wajar jika muncul perasaan ditinggalkan dan dikhianati oleh negara.

Warga Madura tidak menolak pembangunan. Tetapi menolak ketidakadilan. Mereka ingin terlibat dalam pengambilan keputusan, bukan sekadar menjadi objek proyek vital.

Mereka ingin merasakan bahwa sumber daya alam yang diambil dari tanah dan laut mereka benar-benar memberi kehidupan. Seperti dikatakan oleh ekonom Amartya Sen, pembangunan sejati adalah kebebasan yang nyata bagi masyarakat untuk memperbaiki hidupnya sendiri. Jika industri migas tak memberi ruang bagi kebebasan itu, maka pembangunan hanyalah ilusi.

Baca juga :  Pulau Sepudi Gempa Lagi, Siswa SD Panik Lari Berhamburan ke Luar Kelas

Pemerintah dan perusahaan harus menata ulang hubungan dengan masyarakat. Dana bagi hasil migas perlu dihitung ulang agar lebih adil dan proporsional. Transparansi dalam kegiatan eksplorasi dan penggunaan dana tanggung jawab sosial harus dibuka kepada publik.

Perusahaan juga perlu membangun komunikasi dua arah dengan masyarakat, bukan sekadar mengirimkan bantuan formalitas. Di sisi lain, pemerintah daerah harus berani memperjuangkan hak masyarakat pesisir agar tidak terus-menerus menjadi korban pembangunan yang timpang.

Madura memiliki potensi luar biasa untuk membangun ekonomi maritim yang mandiri. Dengan hasil laut, potensi wisata bahari, dan kekuatan budaya masyarakat pesisir, pulau ini bisa menjadi contoh pembangunan berbasis sumber daya lokal.

Migas seharusnya menjadi modal awal untuk mendorong transformasi ekonomi, bukan sekadar angka dalam laporan lifting nasional. Energi yang diambil dari dasar laut itu seharusnya menyalakan terang di rumah-rumah nelayan, bukan hanya di kilang dan kantor pusat perusahaan.

Sudah waktunya pemerintah dan korporasi berhenti memperlakukan Madura sebagai ladang energi tanpa nurani. Keberhasilan industri migas bukan hanya diukur dari seberapa banyak gas yang keluar dari bumi.

Tetapi, seberapa terang cahaya yang sampai ke rumah nelayan. Jika keadilan tetap diabaikan, maka jangan salahkan jika masyarakat akhirnya, MELAWAN!!. Maaf. (*)

—-

Penulis juga Ketua Umum Ikatan Alumni Ilmu Kelautan, Universitas Trunojoyo Madura (UTM).

Berita Terkait

Sapudi dan Elegi Eksploitasi
Kangean Dilupakan, Rakyat Melawan!
Tak Perlu KEK, Cukup Berlakukan Tarif Cukai Kelas Tiga
Dramaturgi Gerbong Mutasi
Apa Kabar Dugaan Skandal Mega Korupsi BSPS Sumenep?
Refleksi Satu Tahun DPR RI Dapil Madura, Antara Ada dan Tiada
UIN Madura, Harapan Baru Ekonomi Biru
KEK Tembakau dan Kembalinya Kejayaan Daun Emas Madura

Berita Terkait

Jumat, 17 Oktober 2025 - 00:13 WIB

Distorsi Eksploitasi Migas Madura

Rabu, 15 Oktober 2025 - 04:11 WIB

Sapudi dan Elegi Eksploitasi

Jumat, 10 Oktober 2025 - 00:18 WIB

Kangean Dilupakan, Rakyat Melawan!

Selasa, 7 Oktober 2025 - 11:41 WIB

Tak Perlu KEK, Cukup Berlakukan Tarif Cukai Kelas Tiga

Minggu, 5 Oktober 2025 - 01:22 WIB

Dramaturgi Gerbong Mutasi

Berita Terbaru

Catatan Pena

Distorsi Eksploitasi Migas Madura

Jumat, 17 Okt 2025 - 00:13 WIB