Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.
—–
PANTAI Jumiang sedang menatap masa depan dengan mata yang ragu. Di satu sisi, kilau harapan ekonomi datang dari lautnya yang biru. Di sisi lain, bayangan keresahan menebal di antara jaring dan perahu para nelayan.
PT. Medco Energi Pty,. Ltd., bersiap mengebor migas di tenggara perairan Pamekasan. Namanya, Blok Paus Biru. Sosialisasi sudah dilakukan, koordinasi juga berjalan. Tapi ada sesuatu yang belum tersentuh oleh semua itu, yaitu rasa cemas yang tumbuh di dada masyarakat pesisir.
Mereka tahu, setiap langkah industri besar selalu membawa janji dan konsekuensi. Seperti dua sisi ombak yang datang bersamaan, satu membawa rezeki, satu lagi membawa erosi kehidupan.
Para nelayan di Jumiang bukan anti kemajuan. Mereka hanya takut kehilangan laut yang selama ini memberi makan. Sebab laut bagi mereka bukan sekadar ruang ekonomi.
Tapi, juga ruang sosial, ruang spiritual, dan ruang keberlanjutan. Jika ruang itu berubah, maka seluruh ekosistem sosial ikut berubah.
Teori Pembangunan Berkelanjutan Brundtland berpandangan bahwa, pembangunan seharusnya memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kehidupan generasi mendatang.
Artinya, eksploitasi migas boleh saja dilakukan, asalkan ekosistem laut dan sosial tetap hidup bersama. Sayangnya, dalam praktiknya, keseimbangan itu sering tergelincir.
Kita perlu belajar dari banyak tempat. Di Kepulauan Natuna, pengeboran migas memang menaikkan pendapatan daerah, tapi juga menurunkan hasil tangkapan ikan secara signifikan.
Di perairan Balikpapan, tumpahan minyak yang kecil saja butuh waktu bertahun-tahun untuk pulih. Laut tak pernah bisa disembuhkan dengan cepat. Ekosistemnya punya ritme yang lambat, dan kesalahan kecil bisa menimbulkan luka panjang.
Di sinilah Teori Ketergantungan Ekologi (Ecological Dependency) bekerja. Masyarakat pesisir hidup dalam keterhubungan langsung dengan lingkungan alam. Ketika laut terganggu, bukan hanya ekosistem yang rusak, tapi juga sistem sosialnya ikut terguncang.
Nelayan kehilangan ruang hidup, perempuan kehilangan sumber pangan, anak-anak bisa kehilangan masa depan yang layak di tanah kelahirannya sendiri.
Sebagian orang mungkin menganggap ini risiko kecil. Namun dalam logika ekonomi sirkular, setiap kerusakan ekosistem menimbulkan biaya sosial dan ekologis yang jauh lebih besar dibanding manfaat jangka pendek.
Jika satu hektare laut rusak, maka nilai ekonomi jangka panjang yang hilang bisa melampaui seluruh keuntungan eksploitasi migas dalam satu tahun.
Namun Jumiang tidak boleh terjebak dalam ketakutan. Ia hanya perlu menata langkah dengan cermat. Ada ruang kompromi yang masih bisa dibangun antara energi dan ekologi, antara industri dan tradisi.
Medco Energi harus memandang laut bukan sebagai ladang ekonomi semata, tapi sebagai sistem kehidupan yang kompleks. Medco perlu menetapkan kebijakan Community-Based Environmental Management.
Di mana, masyarakat menjadi subjek utama pengelolaan lingkungan. Caranya dengan membuka ruang partisipasi sejak awal, bukan sekadar sosialisasi sepihak.
Program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) tidak boleh berhenti di bantuan simbolik. Medco harus menginvestasikan dana CSR pada tiga pilar utama. Pertama, pendidikan lingkungan dan teknologi tangkap ramah laut bagi nelayan.
Kedua, diversifikasi ekonomi pesisir seperti pengembangan wisata bahari, budidaya rumput laut, dan olahan hasil laut berbasis rumah tangga.
Ketiga, pembangunan pusat rehabilitasi ekosistem laut bersama kampus dan kelompok nelayan, agar setiap kerusakan bisa dipulihkan secara ilmiah dan berkelanjutan.
Selain itu, perusahaan perlu menerapkan sistem Environmental Monitoring Transparency, yaitu membuka hasil pemantauan lingkungan secara berkala di ruang publik.
Baik melalui laman resmi maupun forum desa. Dengan begitu, masyarakat bisa ikut mengawasi dan menilai dampak proyek secara langsung.
Tak kalah pentingnya, pemerintah harus menjadi penyeimbang antara kepentingan energi nasional dan keberlanjutan lokal. Perlu dibentuk Forum Koordinasi Pengelolaan Laut Pamekasan.
Forum ini terdiri dari pemkab, akademisi, nelayan, dan lembaga independen. Forum ini bertugas mengawasi jalannya proyek dan memastikan semua aspek lingkungan ditaati.
Pemerintah juga bisa membuat Peraturan Daerah Perlindungan Wilayah Tangkap Tradisional agar nelayan tidak kehilangan hak atas laut mereka.
Setiap meter persegi laut yang dipakai untuk pengeboran harus memiliki zona kompensasi ekologis seperti terumbu karang buatan atau kawasan penangkapan baru.
Selain itu, sebagian dana bagi hasil migas perlu dialokasikan menjadi Dana Keberlanjutan Pesisir. Dana ini digunakan untuk mendukung pendidikan anak nelayan.
Kemudian, digunakan untuk riset lingkungan laut, serta pemulihan ekosistem akibat aktivitas industri. Dengan begitu, pembangunan energi bisa tetap berjalan, tanpa mengorbankan generasi berikutnya.
Pemerintah juga harus mendorong perusahaan energi melakukan transisi ke arah energi biru atau blue energy, konsep yang kini banyak diadopsi di negara pesisir maju.
Energi biru adalah strategi memanfaatkan sumber daya laut dengan tetap menjaga ekosistem, termasuk pengembangan listrik laut, tenaga arus, dan gas yang diproduksi tanpa merusak habitat laut.
Jumiang memang sedang diuji. Antara kebutuhan energi dan keberlanjutan ekologi. Antara keinginan untuk maju dan kewajiban untuk tetap hidup dalam keseimbangan. Laut tidak bisa menolak. Ia hanya bisa menunggu keputusan manusia yang mengatur nasibnya.
Jika manusia di pesisir Jumiang bisa menjaga lautnya, maka laut pun akan menjaga mereka. Tapi jika mereka membiarkan laut diambil tanpa perhitungan, maka yang hilang bukan hanya ikan, melainkan masa depan.
Energi sejati bukanlah minyak atau gas yang dipompa dari dasar laut. Energi sejati adalah kemampuan manusia menjaga keseimbangan antara alam dan ambisi.
Kemajuan tidak diukur dari dalamnya sumur minyak, tapi dari dalamnya kebijaksanaan manusia yang menggali. Sebab setiap tetes minyak yang diambil dari dasar laut, sesungguhnya adalah ujian bagi nurani, apakah sedang membangun masa depan, atau justru menenggelamkannya perlahan. Maaf. (*)
——
Penulis juga Ketua Umum Ikatan Alumni Ilmu Kelautan, Universitas Trunojoyo Madura (UTM).