Oleh: Prengki Wirananda, Pemred Klik Madura.
—–
ADA yang lebih dalam dari sekadar bunyi mesin bor yang meraung di tengah laut. Di balik suara logam yang menembus dasar bumi itu, tersimpan denyut pelan dari sebuah pulau yang mulai kehilangan kesabarannya.
Kangean, gugusan pulau yang hidup dari laut, kini kembali menatap nasibnya di antara kepentingan dan kekuasaan.
Menolak eksplorasi dan eksploitasi migas di Kangean bukanlah tindakan emosional. Ini bukan jeritan orang yang anti pembangunan. Ini lahir dari nalar yang sadar bahwa bumi punya batas, dan manusia punya kewajiban untuk menjaganya.
Pengalaman di Pagerungan sudah cukup menjadi peringatan. Di sana, dikabarkan ada delapan belas sumur yang menembus perut bumi.
Lautnya kehilangan kejernihan, nelayan kehilangan ruang tangkap, dan udara perlahan membawa aroma condensate yang asing.
Setiap pengeboran meninggalkan luka yang tak kasat mata, tapi terasa dalam di kehidupan warga pesisir.
Kini ancaman itu mendekat lagi. Jika proyek di laut Kangean Barat tetap dipaksakan, maka bukan tidak mungkin seluruh pulau akan berubah menjadi peta baru pengeboran.
Target produksi dua ratus hingga tiga ratus juta kaki kubik gas per hari tidak akan tercapai hanya dengan satu sumur.
Akan muncul titik-titik bor baru, satu demi satu, seperti duri yang tumbuh di daging bumi. Pertanyaannya sederhana namun menohok, sampai kapan Kangean sanggup bertahan tanpa sempat bernafas untuk memulihkan diri.
Dalam tata kelola migas nasional, masyarakat lokal hampir selalu hanya menjadi penonton. Mereka menerima sedikit bagian, sering kali hanya berupa program CSR dan dana bagi hasil yang nilainya tidak sebanding dengan risiko sosial dan ekologis yang ditanggung.
Yang menikmati hasilnya adalah korporasi besar dan para pemegang saham yang jauh dari laut, sementara yang tinggal di pesisir hanya mewarisi kerusakan.
Kangean berpotensi menjadi bagian dari kutukan sumber daya, sebuah ironi lama yang menimpa banyak negeri kaya tambang.
Pasal 33 UUD 1945 sering dijadikan tameng, seolah semua eksploitasi bisa dibenarkan dengan kalimat “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Namun pasal itu kehilangan maknanya jika kemakmuran dibangun di atas penderitaan alam.
Rakyat di daerah penghasil tetap miskin infrastruktur, lautnya rusak, dan lingkungannya tercemar. Padahal konstitusi juga memberi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Hak yang mestinya lebih tinggi nilainya daripada sekadar hasil tambang. Menolak pengeboran bukan berarti menentang negara, melainkan menjaga makna sejati dari kemerdekaan itu sendiri.
Aldo Leopold pernah menulis bahwa manusia bukan penguasa atas alam, melainkan bagian dari komunitas ekologis yang harus dijaga keseimbangannya.
Arne Næss kemudian mempertegas gagasan itu melalui ekologi mendalam, bahwa alam memiliki nilai intrinsik yang tak perlu alasan ekonomi untuk dihormati.
Kangean tidak bisa dilihat sebagai ladang energi semata. Ia adalah ekosistem yang hidup, tempat manusia, laut, dan tanah saling bergantung.
Pemerintah sebenarnya sudah membuka arah kebijakan yang lebih beradab melalui transisi energi bersih. Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi kini mendorong pengembangan panas bumi, tenaga surya, biomassa, dan angin.
Sejak beberapa tahun terakhir, berbagai daerah telah memulai proyek energi bersih yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Masa depan energi Indonesia tidak lagi berada di perut bumi, melainkan di atas permukaan yang terang.
Kangean seharusnya tidak dijadikan ladang bor baru. Ia bisa menjadi laboratorium energi bersih di tengah lautan, contoh bagaimana pulau kecil menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian.
Pulau ini tidak membutuhkan tusukan bor untuk hidup, yang dibutuhkan adalah ruang untuk bernapas dan kesempatan untuk pulih.
Menolak eksploitasi migas bukanlah bentuk perlawanan, melainkan pembelaan terhadap kehidupan. Ini bukan langkah mundur, melainkan langkah sadar untuk menjaga masa depan.
Kemakmuran sejati tidak lahir dari bumi yang terkuras, tetapi dari alam yang tetap hidup dan manusia yang bisa menikmati udara bersih serta laut yang penuh ikan.
Kangean butuh keberpihakan. Sebab hanya dengan menjaga bumi, kehidupan akan tetap berpihak pada kehidupan selanjutnya. Saatnya Kangean pulih. Maaf. (*)














